Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

Muhammadiyah Cabang Madura

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Jumat, 15 September 2023
  • Dilihat 252 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Ada anekdot lama tentang Muhammadiyah di Madura; “Sembilan puluh sembilan persen orang Madura itu agamanya Islam, satu persennya Muhammadiyah”. Suatu ketika seorang anak mengabarkan orang tuanya di Madura, bahwa ia telah diterima kuliah di Universitas Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Jawab sang ayah “Alhamdulillah nak, yang penting tidak kuliah di kampus Muhammadiyah”. Rupanya orang tua anak tersebut tidak tahu kalau Ahmad Dahlan justru pendiri Muhammadiyah, he he he. Anekdot tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang tak populer di Madura.

Tapi, benarkah tidak ada Muhammadiyah di Madura? Tidak benar. Justru kehadiran Muhammadiyah di pulau garam ini mendahului NU. Sebagaimana dimaklumi, NU lahir 1926 di Surabaya, sedangkan Muhammadiyah lahir 1912 di Yogyakarta. Muhammadiyah masuk ke Madura tahun 1925, satu tahun sebelum NU lahir. Tahun 1927, Muhammadiyah di Bangkalan, Sampang, dan Sumenep sudah berstatus cabang, menyusul cabang Pamekasan tahun berikutnya (1928). Bahkan pendirian cabang Muhammadiyah di empat kabupaten Madura mendahului beberapa kabupaten lainnya di Jawa Timur, seperti Tulungagung (1932), Banyuwangi (1933), Magetan (rentang waktu 1932-1933), Nganjuk (1933), Pacitan (1933), Tuban (1933), Mojokerto (1933), Sidoarjo (1935-1936), Bojonegoro (1947), dan Lamongan (1951). Karena itu, tidak heran apabila Madura pernah dipilih sebagai lokasi puncak peringatan Milad Muhammadiyah se Jatim, yakni Milad ke-107 H/104 M, yang diselenggarakan di Stadion Gelora Bangkalan pada 27 Nopember 2016.

Hingga kini, Muhammadiyah tetap eksis di Madura. Hal ini ditunjukkan dengan terus bertambahnya lembaga-lembaga pendidikan milik Muhammadiyah (seperti TK Aisyiyah, SD/SMP/SMA Muhammadiyah), lembaga-lembaga sosial (rumah sakit/klinik dan panti asuhan Muhammadiyah), dan masjid-masjid milik warga Muhammadiyah yang tersebar di empat kabupaten di Madura.

Kendati datang lebih awal dari NU, perkembangan Muhammadiyah di Madura sangat lambat? Hal ini karena kuatnya pengaruh NU dan ulama pesantren di Madura dalam menolak kehadiran Muhammadiyah ketika itu. Sebagaimana diketahui, figure utama pendirian NU adalah Syaikhana Muhammad Khalil Bangkalan. Atas restu beliau lah NU didirikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari bersama sejumlah ulama. Hampir semua ulama Madura berguru kepada Syaikhana Khalil, sehingga dengan mudah NU diterima masyarakat Madura.

Sebaliknya, kedatangan Muhammadiyah saat itu mendapat penolakan keras dari ulama pesantren. Mengapa? karena kedatangan mereka membawa misi pemurnian tauhid yang di antara gerakannya adalah memerangi acara-acara keagamaan yang menurut mereka terindikasi TBC (Tahayyul, Bid’ah, dan Churafat) yang menyimpang dari Islam. Contoh tradisi yang dituduh TBC adalah ziarah ke kuburan para wali, acara tahlil mendoakan anggota keluarga yang meninggal (1-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, bahkan tiap tahun), perayaan kelahiran Nabi Muhammad (maulid Nabi), dan beberapa perayaan terkait siklus kehidupan dan kematian. Semua tradisi tersebut—kata mereka--tidak ada dalilnya bahkan bertentangan dengan al-Quran dan al-Hadits. Selain itu, mereka juga mempraktikkan salat subuh tanpa qunut, tawarih 11 rakaat, tidak zikir bersama setelah salat, sambil menyalahkan tradisi pesantren yang subuh berqunut, tarawih 23 rakaat, dan zikir bersama setelah salat. Gerakan mereka, kira-kira tidak jauh berbeda dengan gerakan kaum Wahhabi saat ini.

Yang menjadi tertuduh sebagai pelaku TBC adalah ulama pesantren dan umatnya. Karena mereka lah yang secara turun temurun melakukan tradisi-tradisi tersebut. Tentu saja, apa yang dilakukan ulama pesantren tersebut memiliki landasan agama yang sangat kuat, sehingga sangat wajar apabila kedatangan Muhammadiyah tidak mendapat simpati bahkan ditolak saat itu.

Bagaimana kini? Muhammadiyah kini beda dengan dulu yang suka nuduh TBC. Apalagi dalam perkembangannya, pengikut Muhammadiyah—menurut Abdul Munir Mulkhan--berkembang menjadi empat model, yakni model Al-Ikhlas (puritan skripturalis), model Kiai Dahlan (substansialis), model Munu (Muhammadiyah-NU)  yang neotradisionalis, dan model Munas (Muhammadiyah-Nasionalis) yang neosin­kretis. Dua model pertama (Al-Ikhlas dan Kiai Dahlan) merupakan tipe yang secara relatif mendekati doktrin Islam murni. Dua model terakhir (Munu dan Munas) tidak banyak berbeda dengan tradisi keagamaan kaum tradisionalis.

Apakah Muhammadiyah di Madura termasuk model Munu atau Munas? Perlu diteliti, yang jelas hubungan NU-MD kini tampak harmonis. Tidak ada lagi letupan-letupan kasus TBC dan lainnya yang memicu konflik seperti di awal kedatangan. Bahkan kedua organisasi ini saling mengundang dan saling hadir ke acara yang diselengarakan masing-masing. Tampaknya, kedua organisasi ini lebih mencari titik temu (kalimatun sawā’) dan mengesampingkan perbedaan-perbadaan. Titik temunya adalah, keduanya mengemban dan menebar misi Islam rahmatan lil’ālamīn dalam bingkai Islam Nusantara-Berkemajuan (4).

Editor: AF/Humas IAIN Madura