TRADISI MOLODEN DI MADURA
- Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
- Jumat, 6 Oktober 2023
- Dilihat 1366 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Rabi`ul awal bulan kelahiran nabi
Di kota, di desa, ramailah barzanji
Membaca sejarah, bersalawat nabi
Agar mendapat syafaat di akhirat nanti
Marilah kita bersalawat untuk nabi.
Demikian sebagian lirik lagu yang dinyanyikan grup Qasidah Nasida Ria untuk menyambut datangnya bulan Rabi`ul awal, bulan maulid, bulan kelahiran Nabi Muhammad shallallāh `alaihi wa sallam, yang diyakini lahir tanggal 12 bulan maulid.
Setiap bulan maulid, umat Islam ramai merayakan kelahiran Nabi. Tentu saja, perayaan maulid nabi tidak menunggu tanggal 12 Rab`iul awal. Di awal bulan maulid, umat Islam telah banyak merayakan kelahiran Nabi hingga akhir bulan maulid. Bahkan di sejumlah daerah di Madura, perayaan maulid nabi (moloden) telah dimulai pada bulan Shafar, satu bulan sebelum bulan maulid, dan berakhir di bulan Rabi`ul Akhir, pasca Rabi`ul awal. Alasannya, karena begitu padatnya penyelenggaraan moloden, sehingga khawatir bersamaan dengan moloden orang lain. Kekhawatiran ini dapat dipahami karena hampir tiap hari ada moloden. Bahkan dalam satu hari, terkadang sampai 8 kali undangan moloden, mulai pukul 06.30, 07.30, 12.00, 13.00, 14.00, 15.00, dan pukul 18.00. Seringkali terjadi, dalam jam yang sama ada dua-tiga undangan moloden.
Padatnya acara moloden tersebut, karena hampir tiap keluarga (mampu/tidak mampu) mengadakan moloden. Yang membedakan adalah, jumlah yang diundang dan hidangan yang diberikan. Keluarga mampu bisa ratusan warga yang diundang, dengan hidangan beragam. Sedangkan keluarga tak mampu, sekitar 50 hingga 100-an undangan warga sekitar. Dari mana biayanya? Bagi keluarga tak mampu, mereka menabung sedikit demi sedikit. Pendek kata, dalam 10-11 bulan, mereka—yang rata-rata petani--menabung dari hasil taninya untuk merayakan kelahiran nabi di bulan maulid. Sebagian dibantu oleh sanak keluarga yang bekerja di luar Madura.
Dalam undangan moloden, apa saja acaranya? Doa bersama, diawali dengan membaca beberapa bait dari kitab Barzanji, lalu salawat duduk (membaca salawat dalam keadaan duduk), dilanjutkan salawat berdiri (membaca salawat dalam keadaan berdiri), dan diakhiri dengan doa. Yang memimpin doa dan bacaan salawat adalah habīb (keturunan Rasulullah) dan kiai langgar sekitar. Sesekali, keluarga yang mampu, mengundang kiai pesantren untuk memimpin acara moloden. Prosesi ini memakan waktu sekitar 30 menit. Setelah doa, dihidangkan makanan dan pulangnya dibawakan oleh-oleh, orang Madura menyebutnya bherkat.
Mengapa begitu antusias merayakan maulid nabi? Sebagai salah satu ungkapan rasa bahagia dan syukur tak terhingga kepada Allah, atas kelahiran Nabi Muhammad, Nabi yang Rahmat dan Penolong di dunia dan akhirat. Ternyata, mensyukuri kelahiran Nabi, dicontohkan sendiri oleh beliau, dengan berpuasa setiap hari Senin. Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Sahabat bertanya kepada Nabi tentang kebiasaan beliau berpuasa di hari Senin. Nabi menjawab, “pada hari Senin aku dilahirkan, dan pada hari itu pula wahyu diturunkan”.
Karena itu, Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki mengatakan, tidak pantas orang yang berakal bertanya “Mengapa kalian memperingati maulid nabi?, karena seolah-olah dia bertanya “mengapa kalian bergembira dengan lahirnya Rasulullah?” Dengan kata lain, yang pantas mempertanyakan/mempermasalahkan perayaan kelahiran Nabi, adalah orang yang tak berakal.
Istri melahirkan saja senangnya bukan main, meskipun belum jelas akan menjadi siapa/apa anaknya kelak, dan tiap tahun kelahirannya dirayakan dengan suka cita. Sedangkan di bulan maulid, yang lahir Nabi pilihan, Nabi yang Rahmat dan merahmati semesta alam, penolong di dunia dan lebih-lebih di akhirat. Tentu senangnya berlipat-lipat. Karena itu, sebenarnya tidak butuh dalil untuk merayakan kelahiran manusia agung ini. Sehingga Imam Hasan Basri (W.110 H) mengatakan “Aku senang sekali seandainya aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, maka aku akan membelanjakannya untuk kepentingan memperingati kelahiran Nabi shallallāhu `alaihi wasallam.”
Bergembira dan merayakan kelahiran Nabi yang Rahmat, juga sebagai salah satu wujud kecintaan kepada beliau. Kalau cinta sudah merasuk ke dalam kalbu, tidak butuh hujjah untuk mencintai, yang dibutuhkan justru ingin segera bertemu dengan yang dicinta. Dalam syair arab dinyatakan Syifā-ul qulūb liqā-ul mahbūb (obat hati [rindu] adalah bertemu dengan yang dirindu). Karena itu, dalam sebagian Dīwān Imām al-Haddād yang sering dibaca saat perayaan maulid nabi, menyatakan:
Falā tusqimūnī bi-thūlīl jafā, wahanū bi-washalin walau fil-manām
[Jangan biarkan aku dalam derita rindu berkepanjangan, kabulkanlah permohonanku untuk bertemu walau dalam mimpi].
Taufik Ismail, penyair terkemuka Indonesia, menulis syair cinta kepada Nabi yang dinyanyikan grup musik Bimbo dengan penuh rindu menyayat hati :
Rindu kami padamu Ya Rasul rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu Ya Rasul serasa dikau di sini
Cinta ikhlasmu pada manusia bagai cahaya suwarga
Dapatkah kami membalas cintamu secara bersahaja.
Sabda Nabi, kelak di akhirat manusia akan dikumpulkan bersama dengan yang dicinta, yuhsyarul mar’u ma`a man ahabbah. Semoga kecintaan kita kepada Nabi yang Rahmat menjadi penyebab turunnya rahmat kepada umat Muhammad (7).
Editor: AF/Humas IAIN Madura