Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

POLITIK PILKADA YANG MENGAGETKAN

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Sabtu, 31 Agustus 2024
  • Dilihat 179 Kali
Bagikan ke

Oleh: prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Kaesang Pangarep, putra Jokowi, yang telah menyiapkan berkas persyaratan untuk mendaftar sebagai bakal calon Gubernur/Wakil Gubernur, tiba-tiba gagal mendaftar karena belum cukup umur. PDIP yang dipastikan tidak bisa mengusung calon Gubernur/Wakil Gubernur Jakarta, setelah ditinggal sendirian oleh partai-partai yang tergabung dalam KIM plus, tiba-tiba bisa mengusung calon sendiri. Khafifah yang awalnya sulit mencari lawan sebagai calon Gubernur Jatim, tahu-tahu mendapat dua lawan sekaligus. Ahmad Fauzi, calon incumbent Bupati Sumenep, yang awalnya merasa aman sebagai calon tunggal, karena partai-partai diskenariokan merapat kepadanya, tiba-tiba mendapat lawan yang seimbang dari kader PPP, Ali Fikri.

Kekagetan-kekagetan serupa dapat ditemukan di banyak daerah yang akan melaksanakan Pilkada 2024. Karena di akhir tahun ini, ada 37 Provinsi dan 508 Kabupaten/Kota yang akan menyelenggarakan Pilkada serentak, yang proses pendaftarannya  dimulai  akhir bulan Agustus.

Mengapa kekagetan-kekagetan tersebut terjadi? Pemicunya adalah UU Pilkada, Peraturan KPU, Keputusan MA, dan Keputusan MK. UU Pilkada No. 1 Tahun 2016 (yang menjadi dasar Peraturan KPU), khususnya pasal 7 tentang usia calon kepala daerah yang isinya sudah jelas, digugat ke MA, dan secara kilat MA mengabulkan. Lalu, putusan MA tersebut digugat ke MK, dan MK pun secara kilat memutus berbeda dengan putusan MA. Kemudia DPR dengan dalih sebagai pembuat UU, berulah  menolak putusan MK dengan RUU Pilkada.

Usia calon dalam UU Pilkada sudah jelas? Ya, karena di pasal 7 (ayat 2) dinyatakan “Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota.”

Atas dasar UU tersebut, PKPU dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf d mengatur “Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan pasangan calon”.

Namun, putusan kilat MA (No.23 P/HUM/2024) mengubah PKPU sehingga syarat batas usia calon kepala daerah itu berubah menjadi “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.”

Perubahan PKPU oleh putusan MA dari “terhitung sejak penetapan pasangan calon” menjadi “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih” dikritik banyak kalangan, bahkan dituduh bahwa putusan MA hanya akal-akalan untuk meloloskan putra presiden (Kaesang Pangarep) yang sedang disiapkan sebagai calon gubernur/wakil gubernur. Jika berdasar PKPU, Kaesang tidak akan lolos karena belum cukup umur saat mendaftar. Namun, jika berdasar putusan MA, dia akan lolos karena di bulan Desember (saat pelantikan) Kaesang sudah berumur 30 tahun.

Maka, digugatlah putusan MA  itu ke MK. Dan sebagaimana diketahui, MK—sebagai penafsir tunggal UU--mengabulkan gugatan, yang intinya menganulir putusan MA dan mengembalikan syarat usia calon sebagaimana diatur dalam UU Pilkada & PKPU, yakni  “terhitung sejak penetapan pasangan calon”. Bukan itu saja, MK juga membatalkan ketentuan ambang batas pencalonan yang membatasi parpol dan gabungan parpol dalam mengusulkan calon, dan mengubah ambang batas pencalonan sesuai dengan jumlah penduduk daerah.

Akibat putusan MK, calon yang merasa sudah yakin bisa mendaftar dan bahkan yakin menang, gagal mendaftar. Demikian pula, parpol-parpol yang sudah yakin bisa mengunci lawan agar tidak bisa mengusung calon, gagal total. Juga, parpol yang semula tak punya harapan mengusung calon, tiba-tiba bisa mencalonkan jagonya sendiri.

DPR yang tergabung dalam KIM plus, merasa terancam kepentingannya dengan putusan MK. Maka, dengan dukungan istana, mereka segera bergerak membahas RUU Pilkada untuk menganulir putusan MK. Dan tidak sampai 24 jam, RUU tersebut akan segera disahkan. Untunglah rakyat masih waras, sehingga pengadilan rakyat yang menentukan, suara rakyat suara tuhan. Gagallah akal-akalan mereka.

Mengakhiri tulisan ini, saya kutip penyataan Prof Mahfud MD, “Di mana pun, negara akan hancur kalau hukum tidak ditegakkan dengan benar, hukum dikondisikan, hukum dibuat alat tipu-tipu,". Wa mā taufīqī illā billāh (49).

 


Editor: Achmad Firdausi