BELAJAR DARI KISAH BURUNG PIPIT
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 18 Oktober 2024
- Dilihat 296 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Dikisahkan, seekor burung pipit yang baru selesai membuat sarangnya, hendak menikmati “rumah” barunya tersebut dengan beristirahat di dalamnya. Di saat burung tersebut tidur lelap, tiba-tiba datang angin ribut yang dengan sekejap menghancurkan sarang yang telah dibangun dengan susah payah itu.
Atas kejadian tersebut, burung pipit sedih bercampur kecewa. Lalu datanglah Malaikat utusan Allah,dan bertanya; “Wahai burung pipit, apa yang menimpamu sehingga kau begitu sedih?” Kemudian burung pipit menjawab dengan nada protes kepada Allah; “Ya Allah Zat Yang Maha Kuasa, Engkau kuasa menciptakan bumi dan langit yang luasnya tak terjangkau, dengan isinya yang beraneka ragam dan sangat rapi. Tapi, saya hanya membuat sarang sekecil ini, kau malah merusaknya. Apakah sarang sekecil ini akan mengganggu kekuasaan-Mu?
Kemudian Malaikat menjelaskan: “Begini burung pipit, ketahuilah, bahwa tanpa kau sadari, saat kau terlelap tidur di sarangmu, ada ular besar mengintai yang siap menerkammu. Jika saja Allah tidak mengirim angin ribut yang menghancurkan sarangmu, maka kau akan mati diterkam ular tersebut. Sekarang kau pilih, apakah kau ingin sarangmu tetap ada tapi kau diterkam ular, atau sebaliknya sarangmu rusak tapi kau selamat? Jawab burung: “Tentu saja saya memilih sarang rusak ketimbang saya mati. Sebab sarang yang rusak bisa diperbaiki bahkan dibuat lebih baik lagi”.
Mendengar penjelasan Malaikat tersebut, si burung pipit sadar betapa Allah sangat mengasihinya sehingga dirinya dijaga dari mara bahaya, tanpa dia diketahui. Lalu, dengan penuh penyesalan, si burung beristighfar kepada Allah.
Apa yang menimpa burung pipit tersebut, kerap kali menimpa makhluk lainnya, khususnya manusia. Misalnya, dalam kasus yang mirip, ada seorang yang baru selesai membangun rumah yang menghabiskan biaya ratusan juta. Setelah jadi dan belum sempat ditempati, tiba-tiba datang gempa bumi yang menghancurkan rumah tersebut. Mungkin orang tersebut akan marah, kecewa. Bahkan jika sebelumnya rajin ibadah, ia akan meninggalkan ibadahnya sebagai bentuk protes kepada Allah. Namun, di balik musibah itu, tanpa dia ketahui, sesungguhnya Allah sedang menjaganya dari sesuatu yang membahayakan imannya.
Perlu diketahui, salah satu asma Allah dalam al-Asma’ al-Husna adalah “al-Lathīf”, Allah Maha Lembut. Termasuk, Allah sangat lembut dan halus dalam menurunkan rahmat, memberikan pahala, dan mendatangkan musibah, sehingga tanpa disadari bahwa kita disayang Allah, dengan cara Allah. Selain itu, Allah juga “al-Hafidz”, Yang Maha Menjaga, menjaga atau memelihara seluruh makhluk-Nya; menjaga segala sesuatu agar tidak rusak dan goyah, termasuk menjaga manusia dari segala bentuk bahaya, kerusakan, atau kejahatan. Allah juga “al-Muhaimin”, Zat Yang Maha memelihara, menjaga, mengawasi, dan menjadi saksi pada sesuatu serta memeliharanya.
Jadi, di balik musibah, pasti ada hikmah positif bagi yang bersangkutan. Hanya, karena manusia makhluk yang lemah, hikmah itu seringkali tidak diketahui, bahkan kadang ditutup oleh Allah al-Lathīf. Maka, terhadap kasus-kasus seperti di atas, tidak ada kata lain, kecuali kita harus berbaik sangka (positive thinking) kepada Allah subhānahū wa ta`ālā.
Dalam hadits qudsi riwayat Bukhari-Muslim, Allah berfirman “Ana `inda dzanni `abdībī, wa ana ma`ahū idzā dzakaranī” (Aku menurut prasangka hamba-Ku. Aku bersamanya saat ia mengingat-Ku). Dalam hadits qudsi riwayat Imam Ahmad, Allah juga berfirman: “Ana `inda dzanni `abdībī, fal-yadzun bī mā syā-a” (Sesungguhnya Aku tergantung persangkaan hamba-Ku. Oleh karena itu, hendaklah hamba-Ku berprasangka dengan apa yang dia inginkan dari-Ku).
Dan positive thinking, tidak hanya dibutuhkan dalam konteks hubungan dengan Allah. Dalam kehidupan sosial pun, positive thinking sangat diperlukan untuk membangun harmoni, mengembangkan aura positif sekaligus menutup aura negatif dalam diri kita. Wa mā taufīqī illā billāh (56).
Editor: Achmad Firdausi