Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

DIMENSI SPIRITUAL PUASA

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Jumat, 7 Maret 2025
  • Dilihat 275 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Mirsa Ali al-Qadhi memaknai spiritualitas sebagai tahapan perjalanan batin seseorang untuk mencari dunia yang lebih tinggi dengan bantuan riyadhah dan berbagai amalan pengekangan diri, sehingga perhatiannya tidak berpaling dari Allah, semata-mata untuk mencapai puncak kebahagiaan abadi.

Puasa dalam bahasa Arab adalah “shaum/shiyām” yang secara bahasa berarti “imsak”; yang bermakna mencegah/menahan diri/mengekang diri, yakni dari hal-hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai mentari terbenam. Dengan demikian, dari dimensi spiritual, puasa merupakan ikhtiar penyucian diri (tazkiyatun nufūs) menuju penghambaan kepada Allah dan untuk mendapat ridha-Nya. Dalam dunia tasawuf terkenal munajat “Ilāhī anta maqshūdī wa ridhāka mathlūbī” (Wahai Tuhanku, Engkaulah yang ku tuju dan ridha-Mu yang ku damba).

Apa yang dicegah dalam puasa? Secara fiqh adalah mencegah makan, minum, dan hubungan seksual mulai dari terbit fajar sampai mentari terbenam. Ketiga hal ini merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga tidak mudah dicegah meskipun dalam waktu terlarang tersebut, apalagi setiap hari dalam sebulan. Bahkan untuk memenuhi hasrat dasar ini, seseorang terkadang melabrak aturan dengan cara menipu, merampok, mencuri, berzina, dan memperkosa.

Maka, orang yang mampu mencegah ketiganya melalui puasa, sudah termasuk muslim yang baik. Tapi yang demikian, kata Imam Ghazali, adalah puasanya orang kebanyakan (puasa umum). Yang lebih hebat lagi jika mampu melaksanakan puasa khusus, yakni berpuasa lahir batin, di mana seseorang tidak hanya menahan diri dari kebutuhan biologis, tetapi juga mencegah anggota tubuh dari perbuatan dosa.

Untuk mencapai tingkatan puasa khusus ini, kata Imam Ghazali, seseorang harus melakukan ikhtiar dalam enam perkara, yakni; (1) menjaga pandangan dari segala hal yang diharamkan, karena pandangan adalah pintu pertama masuknya godaan; (2) menjaga lisan dari ucapan sia-sia, ghibah, fitnah, dan permusuhan; (3) menahan telinga dari mendengar hal-hal yang haram atau tidak bermanfaat; (4) menjaga tangan dan kaki dari perbuatan maksiat serta menghindari makanan syubhat ketika berbuka; (5) tidak berlebihan dalam berbuka, karena tujuan puasa adalah menundukkan hawa nafsu, bukan sekadar menunda makan; dan (6) merasa takut dan berharap kepada Allah, karena seorang mukmin sejati tidak pernah merasa aman dari tertolaknya amal.

Nah, melalui puasa khusus ini, sifat-sifat negatif manusia dapat ditundukkan. Sebab, kata Imam Ghazali, dalam diri manusia terdapat tiga potensi negatif dan satu potensi positif. Ketiga potensi negatif manusia adalah sifat rakus (sabu`īyah), sifat binatang (bahi­miyah), dan sifat setan (syai­thāniyah). Ketiga potensi ini yang selalu menggelorakan nafsu syahwat, mengajak manusia untuk menggapai kesenangan dunia semata, suka merampas hak orang lain, iri hati, dengki, menghina, mengadu domba, membangkitkan permusuhan, dan sejenisnya.

Untuk melawan dan menundukkan potensi-potensi negatif tersebut, perlu pertahanan yang kokoh. Dan pertahanan itu, adalah puasa. Sebagaimana sabda Nabi (1) “Puasa itu benteng pertahanan, seperti benteng salah seorang dari kalian dalam peperangan”; (2) “Sungguh setan itu menyelinap pada tubuh anak Adam melalui aliran darah, maka persempitlah jalannya dengan rasa lapar”; (3) “ ... barang siapa belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena puasa itu dapat mengendalikanmu.”

Jika potensi-potensi jahat telah dapat ditundukkan melalui puasa, maka yang akan menguat adalah potensi positif, yakna potensi “rabbāniyah”, potensi ketuhanan yang selalu mengajak pada kebaikan hingga ke puncak kebahagiaan yang menjadi impian setiap muslim, yakni takwa. Dan takwa ini yang menjadi pembeda di antara muslim. Firman Allah  “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah, adalah yang paling takwa”, dan sabda Nabi “Lihatlah, engkau tidak akan lebih baik dari orang yang berkulit merah atau berkulit hitam sampai engkau mengungguli mereka dengan takwa”. Wamā taufīqī illā billāh (78).

 


Editor: Achmad Firdausi