PUASA DAN KEDERMAWANAN
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 21 Maret 2025
- Dilihat 261 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Ada dua istilah asing terkait kedermawanan, yakni altruistik dan filantropi. Altruistik dalam KBBI diartikan “sukarela menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun atau tanpa memperhatikan kepentingan sendiri.” Dalam Islam, sikap sosial seperti ini disebut “ītsar”. Ditunjukkan dalam surah al-Hasyr ayat 9, “… wa yu’tsirūna `alā anfusihim walau kāna bihim khashāshah …” (Mereka [orang-orang Anshar] mengutamakan [orang-orang Muhajirin] daripada dirinya sendiri, meskipun mereka mempunyai keperluan yang mendesak).
Surah al-Hasyr ayat 9 tersebut menggambarkan ketulusan kaum Anshar Madinah, dalam menyambut kaum Muhajirin yang baru datang dari Mekah, hijrah bersama Nabi. Mereka meninggalkan Mekah tidak membawa apa-apa, kecuali iman yang kuat. Sahabat Anshar menyambut mereka penuh sukacita, dengan merelakan harta benda mereka untuk keperluan hidup kaum Muhajir di Madinah, meskipun kaum Anshar lebih membutuhkan. Sikap ini yang dipuji Allah sebagaimana ditunjukkan di akhir ayat “waman yūqa syuhha nafsihī fa ulā-ika humul muflihūn” (Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, itulah orang-orang yang beruntung).
Sikap “ītsar” juga ditunjukkan dalam kisah tiga orang sahabat Nabi yang terluka parah di perang Yarmuk, sebagaimana dikisahkan oleh Abdullah bin Mush’ab az-Zubaidi dan Hubaib bin Abi Tsabit. Ketiga sahabat Nabi itu, adalah al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Suhail bin Amr. Ketiganya terluka parah di medan perang sehingga sama-sama kehausan. Ikrimah meminta air minum, kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya, maka Ikrimah berkata, “Berikan air itu kepadanya.” Dan ketika itu Suhail juga melihat al-Harits sedang melihatnya, maka iapun berkata, “Berikan air itu kepadanya”. Namun belum sampai air itu kepada al Harits, ketiganya telah meninggal kehausan tanpa sempat merasakan air tersebut sedikitpun. Ketiga sahabat Nabi tersebut menjadi syahid karena masing-masing mengutamakan keselamatan yang lain, meskipun masing-masing sangat membutuhkan untuk bertahan hidup.
Itulah altruistik (ītsar), suatu bentuk kedermawanan yang responsif dan mengabaikan kepentingan dirinya, demi membantu saudaranya, dan umumnya bersifat individual. Lalu, apa bedanya dengan filantropi. Istilah kedua ini lebih bersifat umum. Semua bentuk kedermawanan lainnya dapat disebut filantropi. Mengeluarkan zakat, infak, sedekah, dan wakaf, dan membantu pihak-pihak yang membutuhkan, termasuk dalam kategori filantropi, baik dilakukan secara individual maupun oleh lembaga-lembaga filantropi.
Puasa adalah mencegah dari hal-hal yang dilarang (makan, minum dan berhubungan seksual), mulai terbit fajar hingga mentari terbenam. Bagi yang tidak terbiasa lapar apalagi tergolong mampu secara ekonomi, berpuasa bukan sesuatu yang mudah, apalagi selama bulan Ramadan.
Nah, pembiasaan berlapar-lapar berpuasa selama sebulan ini diharapkan melahirkan perasaan empati bahwa lapar itu tidak enak, tidak nyaman, bahkan menderita. Lalu diharapkan ia ikut merasakan apa yang dirasakan kaum duafa yang susah makan, susah membeli beras, dan lauk pauk.
Dari urusan susah makan, ia diharapkan pula ikut merasakan susahnya mereka yang tidak memiliki tempat tinggal, yang hidup gelandangan, dan yang sedang tertimpa musibah (banjir, tanah longsor, peperangan, dan lainnya). Dari perasaan-perasaan empati tersebut, diharapkan berkembang menjadi aksi nyata untuk berderma kepada kaum duafa yang sedang mengalami masalah ekonomi dan social.
Dalam Islam, berderma bukan sekedar belas kasihan, tapi sebagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh yang mampu, baik melalui zakat (wajib) maupun sedekah (sunnah). Bahkan landasan berderma ini bersifat perintah, sebagaimana ditunjukkan dalam QS. At-Taubah ayat 103 “Khudz min amwālihim shadaqatan tuthahhiruhum wa tuzakkīhim bihā” (Ambillah zakat dan harta mereka [guna] menyucikan dan membersihkan mereka).
Lalu, kepada siapa—dari kaum duafa itu—para pemilik harta harus mengeluarkan zakat dan/atau sedekahnya? Mulailah dari kerabat yang miskin, lalu ke tetangga yang miskin, baru ke orang lain yang miskin. Firman Allah dalam surah al-Isrā’ ayat 26 “Wa āti dzalqurbā haqqahū wal miskīna wabnas sabīli walā tubadzdzir tabdzīrān” (Berikanlah kepada kerabat dekat akan haknya, [juga kepada] orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan [hartamu] secara boros). Juga sabda Rasulullah dalam riwayat Imam Tirmidzi: “As-Shadaqatu `alal miskīn shadaqatun, wa `alā dzīrahimin tsintāni shadaqatun wa shilatun” (Bersedekah pada orang miskin mendapat satu pahala sedekah, dan bersedekah kepada kerabat mendapat dua pahala; yakni pahala sedekah dan pahala silaturahim). Wamā taufīqī illā billāh (80).
Editor: Achmad Firdausi