Tanèyan Lanjhâng sebagai Investasi Kampus Keislaman
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 1 Agustus 2025
- Dilihat 100 Kali
Oleh: Dr. Moh. Hafid Effendy, M.Pd.
(Dosen Tarbiyah UIN Madura & Anggota Dewan Pendidikan Kab. Pamekasan)
Memotret Istilah Tanèyan Lanjhâng akan teringat rumah adat Madura yang tradisional. Tanèyan Lanjhâng bukan sekadar struktur permukiman tradisional masyarakat Madura, akan tetapi juga cerminan nilai-nilai kehidupan yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengikis akar budaya lokal Madura, Tanèyan Lanjhâng justru hadir sebagai warisan budaya yang layak dijadikan investasi sosial, spiritual, dan kultural bagi kampus keislaman di Indonesia khususnya di kampus UIN Madura.
Secara konseptual, Tanèyan Lanjhâng merupakan bentuk permukiman yang terdiri atas beberapa rumah keluarga etnik Madura dalam satu halaman luas yang dikelilingi pagar alamiah (paghâr carang) dari bambu atau simbolis. Di dalamnya hidup beberapa kepala keluarga yang memiliki ikatan darah (sèttong dârâ). Namun, lebih dari sekadar pola ruang, Tanèyan Lanjhâng adalah sistem nilai yang merepresentasikan ukhuwah (persaudaraan), ta’awun (tolong-menolong), serta musyawarah dalam kehidupan sehari-hari guna memperkuat nilai-nilai yang juga menjadi fondasi dalam ajaran Islam.
Investasi kampus keislaman tidak selalu harus diwujudkan dalam bentuk infrastruktur fisik yang megah atau teknologi modern, melainkan juga melalui pelestarian dan revitalisasi kearifan lokal yang sejalan dengan visi pendidikan Islam. Dalam konteks ini, Tanèyan Lanjhâng dapat menjadi model pendidikan karakter, relasi sosial, dan tata kelola kehidupan berbasis nilai-nilai Islam yang kontekstual.
Sebagai contoh, suasana Tanèyan Lanjhâng menumbuhkan budaya hidup sederhana, hormat kepada orang tua (guru atau dosen), kebersamaan lintas generasi, serta pembiasaan musyawarah dalam mengambil keputusan keluarga. Lingkungan seperti ini sangat mendukung pembentukan karakter mahasiswa yang tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial. Hal ini sejalan dengan tujuan utama kampus keislaman, yakni mencetak insan kamil manusia utuh yang seimbang antara iman, ilmu, dan amal.
Kampus keislaman yang menjadikan Tanèyan Lanjhâng sebagai inspirasi dapat mengintegrasikan nilai-nilainya dalam kurikulum, arsitektur kampus, hingga pola kehidupan asrama mahasiswa. Misalnya, membangun lingkungan asrama berbasis “tanèyan” yang mendorong interaksi intensif antar-mahasiswa, pembiasaan musyawarah dalam komunitas kecil, serta tanggung jawab sosial dalam skala mikro. Ini bisa menjadi alternatif pendidikan karakter yang lebih otentik dan kontekstual dibandingkan pendekatan formalistik belaka.
Lebih jauh, kampus yang mengangkat Tanèyan Lanjhâng sebagai bagian dari identitas keilmuannya akan memperkaya diskursus akademik, khususnya dalam bidang kajian Islam Nusantara, antropologi Islam, serta pendidikan Islam berbasis budaya lokal Madura. Upaya ini bukan sekadar romantisme budaya, tetapi strategi epistemologis untuk membumikan nilai-nilai Islam dalam ruang hidup masyarakat Indonesia yang plural dan kaya dengan budaya.
Dengan demikian, menjadikan Tanèyan Lanjhâng sebagai investasi kampus keislaman adalah bentuk penghormatan terhadap kearifan lokal Madura sekaligus langkah strategis dalam membangun pendidikan Islam yang membumi, kontekstual, dan berdampak luas. Sebab, masa depan pendidikan Islam bukan hanya pada kemampuan mengakses pengetahuan global, tetapi juga pada kecakapan menanamkan nilai-nilai Islam dalam tanah budaya lokal khususnya Madura.
Editor: Achmad Firdausi