Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

TUHAN BERKELINDAN DENGAN HAMBA-NYA DALAM IBADAH PUASA

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Sabtu, 1 Maret 2025
  • Dilihat 416 Kali
Bagikan ke

Oleh: Dr. H. Imam Amruzi, M.H.I.

(Ketua Program Studi Doktor Ilmu Syariah Pascasarjana IAIN Madura)

Tulisan ini sengaja dihadirkan untuk menyambut bulan suci Ramadhan, di mana umat Islam menjalankan ibadah puasa, merajut kemesraan dengan tuhannya. Pengejawantahan ibadah puasa di bulan Ramadhan merupakan ibadah yang paling membekas dalam perjalanan ritual kita. Ekspresi ritual selama sebulan penuh menjalankan perintah Allah dengan setumpuk kegiatan yang mengiringinya senantiasa menancapkan kesan mendalam terhadap diri kita, bahkan kesan tersebut selalu terintegrasi di dalam relung sanubari yang paling dalam. Serangkaian kegiatan yang selalu ditunaikan secara berjemaah, mulai dari berbuka puasa bersama, shalat tarawih secara berjemaah, tadarus membaca al-Qur’an, makan sahur bersama, dan masih banyak lagi kegiatan yang lainnya, senantiasa dilakukan secara riang-gembira dan suka cita, semenjak kecil hingga kita dewasa. Segenap lapisan masyarakat, mulai dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa, juga pria dan wanita, semuanya serentak bersama-sama menjalankan semua kegiatan di bulan Ramadhan.

Jiwa keagamaan seorang muslim dibentuk oleh serangkaian ibadah, dan salah satunya adalah ibadah puasa yang merupakan bagian dari sarana pembentuk dan instrumen pendidikan kesucian diri selama hayat dikandung badan. Beragam corak kerohanian selalu dijumpai di seluruh daerah, bahkan bangsa muslim menampilkan corak kerohanian yang beragam, namun hampir sama selama berlangsungnya puasa Ramadhan, tentunya dengan beberapa variasi tertentu, berderet dari variasi yang satu ke yang lainnya. Akan tetapi terdapat juga beberapa kekhasan yang menjadi ciri khas di beberapa daerah atau bangsa, tak terkecuali masyarakat Indonesia, memiliki kekhasan tersendiri, yang tidak jarang memantik perhatian para pengkaji ritual keagamaan. Kiranya tidak terlalu berlebihan apabila dikatakan bahwa umat Islam di Indonesia terkesan memiliki kekhasan yang spesifik mengenai rangkaian ritual di bulan suci Ramadhan, yang barangkali melebihi umat Islam di negara mana pun.

Ramadhan menjelma menjadi bulan keagamaan yang memiliki intensitas cukup tinggi, hingga mampu menancapkan bekas yang amat mendalam bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Dari sudut pandang inilah, puasa dipilih oleh Allah menjadi salah satu ritual yang dimiliki oleh semua umat, bukan hanya umat Islam. Itulah penegasan Allah dalam QS. Al-Baqarah 183-184: (183) Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (184) (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Allah sengaja memilih ibadah puasa sebagai wahana untuk bermesraan dengan hamba-Nya, menjadi event yang penting dan moment yang tepat untuk memadu rindu. Puasa dimaksudkan untuk meraup sekian banyak hikmah dari rangkaian ibadah tersebut dari pengamalnya, dan memperoleh tularan kemuliaan dari event dan moment yang dimuliakan oleh Allah. Untuk tujuan itulah, dipilih bulan Ramadhan sebagai bulan puasa, sebab bulan Ramadhan bulan yang dimuliakan, karena merupakan bulan diturunkan Al-Qur'an di dalamnya. Firman Allah dalam lanjutan ayat di atas, QS. Al-Baqarah 185: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Puasa dipatenkan sebagai ibadah yang bersifat personal. Di dalam puasa tersirat rahasia antara seorang hamba dengan Allah. Kerahasiaan tersebut mengindikasikan terjalinnya relasi yang sangat erat antara hamba dengan Allah. Di sinilah  letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu sendiri terkait erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan yang sangat mesra nan intim. Secara personalitas, antara puasa yang sejati dan yang palsu atau polesan belaka sulit dibedakan oleh orang lain, hanya Tuhan dan diri kita sendiri yang mengetahuinya. Untuk meraih puasa yang sejati, hamba harus benar-benar menjaga kerahasiaan tersebut. Dalam sebuah Hadis Qudsi, Rasulullah bersabda: semua amal keturunan Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku, dan aku sendiri yang akan memberikan pahalanya.

Berkaitan erat dengan kerahasiaan tersebut, Ibn al-Qayyim al-Jauzi menandaskan bahwa ibadah puasa adalah semata untuk Tuhan seru sekalian alam, sehingga puasa berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya. Seseorang yang berpuasa tidaklah melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan syahwatnya, makanannya, dan minumannya demi sesembahannya (ma'buduh) yang merupakan intimannya. Seorang hamba yang meninggalkan segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih mengutamakan cinta Allah dan ridha-Nya berarti rela berkorban demi menjaga hubungan intim dengan-Nya. Amat tepatlah jika dikatakan puasa itu rahasia antara seorang hamba dengan Allah, yang orang lain tidak mampu mengetahuinya. Hamba yang satu terhadap hamba lainnya mungkin saja dapat melihat seseorang yang berpuasa secara lahir meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya demi yang dicintainya, yakni Allah. Maka secara batiniah hal itu merupakan perkara yang tidak dapat diketahui oleh sesama manusia. Dan inilah salah satu di antara sekian banyak hikmah ibadah puasa. Seseorang yang mengabaikan hikmah puasa, dia tidak akan mendapatkan apa-apa, dan hanya akan menderita lapar dan dahaga. Wajarlah apa yang ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadisnya: Betapa banyak dari orang-orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa (pahala) dari puasanya, melainkan hanya merasakan lapar dan dahaga.

Ibadah puasa juga merupakan training atau latihan dan ujian kesadaran akan eksistensi Tuhan yang Maha hadir, dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap semua perilaku hamba-hamba-Nya. Pada tataran ini, puasa lebih merupakan penghayatan nyata terhadap keeratan atau keintiman relasi hamba dengan-Nya. Allah Maha hadir dan Maha dekat. Keintiman tersebut dinyatakan dalam beberapa firman-Nya, seperti dalam QS. Al-Baqarah 115: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. QS. Al-Baqarah 186: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. QS. Al-Hadid 4: "...Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." Begitulah keintiman hamba dengan Tuhannya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Selamat Berpuasa!

 


Editor: Achmad Firdausi