Ketimpangan antara Reward dan Punishment dalam Ujian Skripsi
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 26 September 2025
- Dilihat 389 Kali
Oleh: Dr. Imam Amrusi Jailani, M.Ag.
(Ketua Program Studi Doktor Ilmu Syariah Pascasarjana UIN Madura)
Skripsi merupakan tugas akhir dari setiap mahasiswa yang hendak menyelesaikan pendidikan dalam strata satu. Skripsi yang sudah dinyatakan layak secara kualifikasi sudah bisa diajukan dan didaftarkan untuk diuji di majelis atau sidang ujian skripsi. Dalam ujian skripsi tentunya akan dinyatakan mahasiswa itu lulus atau tidak, atau layak untuk menyandang gelar sarjana atau tidak.
Dalam ujian skripsi tentunya ada reward dan punishment. Reward dinyatakan dalam bentuk kelulusan yang menjadikan mahasiswa bersukaria dan riang gembira. Sebaliknya punishment dinyatakan dalam bentuk kegagalan sehingga mahasiswa harus mengulang ujian skripsi dan harus menunda gelar sarjananya.
Jika ditelisik, teori reward and punishment bermuara pada aliran behaviorisme, terutama teori penguatan (reinforcement) oleh B.F. Skinner. Menurutnya reward (penghargaan) merupakan stimulus yang memperkuat perilaku positif agar diulang, sementara punishment (hukuman) merupakan stimulus tidak membahagiakan yang bertujuan melemahkan atau menyingkirkan perilaku negatif. Dalam pandangan beberapa pakar, direkomendakan bahwa reward harus diberikan untuk meningkatkan kinerja atau kebiasaan baik, sedangkan punishment harus bersifat edukatif, bukan menyakitkan, untuk menata ulang perilaku yang tidak diinginkan tanpa menimbulkan rasa takut atau dendam, sehingga menjadi perilaku yang lebih baik.
Skinner menyatakan bahwa perilaku operant (perilaku yang dilakukan secara sadar) dapat dipengaruhi oleh penguat. Penguat positif (reward) akan memperkuat perilaku, sedangkan penguat negatif (hukuman) akan mengurangi perilaku. Reward diberikan untuk merespon perilaku yang positif sedangkan punishment diberikan untuk menekan perilaku negatif.
Akan tetapi pada kenyataannya kebanyakan para pendidik, seperti dosen, lebih banyak bahkan hampir seluruhnya memberikan reward dalam ujian skripsi. Bahkan hampir tidak ditemukan adanya punishment berupa ketidaklulusan dalam ujian. Hal tersebut akan memicu sikap oportunis dari mahasiswa dan anggapan bahwa setiap ujian skripsi pasti lulus, tidak akan ada yang gagal. Hal tersebut akan melemahkan semangat dari mahasiswa untuk menyusun skripsi secara baik, karena sudah beranggapan bahwa dirinya pasti lulus. Ujung-ujungnya, jadilah skripsi disusun ala kadarnya, yang penting selesai dan ujian, toh tetap lulus.
Faktor lain dari adanya pemberian reward dan menghindari punishment adalah sisi kemanusiaan. Dari sisi kemanusiaan, dosen tidak akan tega dan kasihan jika melihat mahasiswa gagal dalam ujian skripsi, karena hal tersebut akan menjadi pukulan bagi mentalnya. Kemudian, pertimbangan lainnya adalah untuk menghindarkan mahasiswa dari membayar UKT pada semester berikutnya, apalagi jika ujian itu digelar pada gelombang ke-4 yang limit waktunya sangat sedikit. Jadi kalau dinyatakan gagal dan tidak lulus, maka sangat sulit untuk menyelesaikan dan mengulang menulis skripsi lagi, sehingga waktu yang digunakan tidak cukup dan harus membayar UKT. Berbeda halnya jika ujian itu diselenggarakan pada gelombang pertama dan kedua, maka mahasiswa masih memiliki tenggat waktu yang cukup panjang untuk menyusun skripsi kembali, sehingga akan terhindar dari membayar UKT semester berikutnya, karena kita tahu bahwa tidak semua mahasiswa itu berasal dari golongan ekonomi menengah ke atas atau yang sudah mapan ekonominya. Banyak dari mereka yang masih berasal dari ekonomi lemah, kuliah saja sudah beruntung. Maka harusnya tepat waktu dalam menyelesaikannya.
Itulah beberapa pertimbangan dalam masalah reward dan punishment yang bukan hanya terjadi pada ujian skripsi, akan tetapi itu terjadi pada ujian-ujian yang lain, baik dalam menyelesaikan tugas akhir atau sekedar kenaikan kelas atau tingkat. Oleh karena itu, reward harus betul-betul dirasakan kemanfaatnya, sehingga menjadikan orang yang menerimanya itu bahagia. Begitu pula punishment harus didasarkan kepada beberapa pertimbangan. Jangan sampai karena adanya punishment seperti kegagalan dalam ujian itu menyebabkan yang menerima punishment itu menjadi frustasi dan putus asa. Oleh karena itu pertimbangan kemanusiaan merupakan pertimbangan yang memang harus dihadirkan dalam situasi dan kondisi seperti itu.
Editor: Achmad Firdausi