Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

Mendekatkan Keluarga Tanpa "Budaya" Junk Food

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Senin, 21 Juli 2025
  • Dilihat 37 Kali
Bagikan ke

Oleh: Moh. Affandi
(Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah)

Setiap tanggal 21 Juli, dunia memperingati National Junk Food Day—sebuah hari yang secara ironis dirayakan dengan menyantap berbagai makanan tinggi gula, garam, dan lemak. Di tengah kesadaran global tentang pentingnya pola makan sehat, hari itu justru menjadi ajang promosi besar-besaran makanan instan yang kerap dikaitkan dengan masalah kesehatan serius. Di satu sisi, momen tersebut bisa menjadi refleksi penting: sejauh mana budaya konsumsi kita telah menjadikan junk food sebagai bagian dari kebersamaan keluarga?

Di era modern yang serba cepat ini, junk food telah menjelma bukan sekadar sebagai pilihan makanan, melainkan menjadi bagian dari budaya populer yang melekat dalam keseharian keluarga. Dari perayaan kecil hingga liburan akhir pekan, tak jarang momen kebersamaan justru diwarnai dengan camilan tinggi gula, lemak jenuh, dan natrium yang disajikan instan dan menggoda. Bahkan dalam banyak keluarga, memberi makanan cepat saji dianggap sebagai bentuk kasih sayang kepada anak-anak—seolah cita rasa gurih dan manis yang instan bisa mewakili hangatnya kebersamaan. Junk food telah menjadi simbol modernitas, kepraktisan, dan kadang ironi dari rasa cinta yang salah kaprah.

Namun, jika ditilik kembali ke masa lalu, kebudayaan makan keluarga di Nusantara jauh dari pola tersebut. Leluhur kita lebih suka mengenalkan kepada keluarga untuk memahami filosofi makanan dan makna kebersamaan dalam setiap prosesnya. Dalam keluarga Madura, misalnya, makan bersama dengan jagung rebus/goreng, kacang rebus, singkong rebus, atau ketela goreng bukan sekadar rutinitas, tapi bentuk keutuhan dan kesetaraan. Makanan disiapkan dengan cinta, dimasak dengan hati, dan disantap bersama dengan rasa syukur. Kebahagiaan tidak datang dari rasa yang instan, tetapi dari proses panjang—menyiapkan, menunggu, berbagi, dan mencerna secara penuh kehadiran satu sama lain.

Dalam masyarakat Madura, Sunda, Minang, Bugis, dan lain-lain pun kita dapat menemukan nilai-nilai luhur serupa: tradisi membuat camilan sendiri dan membawa bekal saat bepergian. Di sanalah letak kebahagiaan sejati: ketika keluarga saling terlibat, menciptakan rasa dan cerita secara bersamaan. Budaya makan bukan hanya soal perut, tetapi juga soal warisan nilai, keterhubungan, dan cinta yang diturunkan antargenerasi.

Kini, tantangan zaman menuntut kita untuk merevolusi kembali cara pandang terhadap makanan keluarga. Revolusi ini bukan sekadar mengganti junk food dengan buah atau sayur, tetapi memperbaiki relasi antara makanan, keluarga, dan makna kebahagiaan itu sendiri. Anak-anak perlu dikenalkan bahwa camilan sehat juga bisa menyenangkan, bahwa dapur bisa jadi ruang bermain dan belajar, dan bahwa momen kebersamaan yang sesungguhnya tidak selalu harus ditemani ayam goreng krispi dalam kotak karton.

Keluarga-keluarga perlu membangun kembali kesadaran gizi sebagai bagian dari spiritualitas kebersamaan. Makan bersama tidak harus mahal dan mewah, tapi cukup dengan kesederhanaan, kebersamaan dan pilihan yang bijak. Kita tidak sedang memusuhi junk food secara mutlak, tetapi mencoba menggeser pusat makna dari kenikmatan instan menjadi kenikmatan yang lebih utuh—yang sehat untuk tubuh, akrab untuk hati, dan bertahan lama dalam ingatan.

Jika budaya junk food menawarkan kebahagiaan cepat tapi semu, maka kebudayaan makan sehat dan penuh makna akan menuntun kita pada kebahagiaan sejati yang tumbuh perlahan namun dalam. Di situlah revolusi gizi keluarga dimulai—dari kesadaran kecil di rumah tangga, dari niat sederhana untuk saling menjaga, dan dari cinta yang tidak dibungkus plastik, melainkan dihidangkan hangat setiap hari.

Ironisnya, ketika di banyak negara maju junk food telah dianggap sebagai makanan sampah yang berbahaya dan mulai ditinggalkan, justru di Indonesia masih banyak pihak yang mengomersialkannya secara legal dan besar-besaran. Di tengah arus ini, keluarga Indonesia perlu menyaring sendiri mana yang sesungguhnya membawa kebahagiaan—bukan hanya untuk lidah, tetapi juga untuk tubuh, kehangatan keluarga, dan masa depan anak-anaknya.

Karena itu, saatnya kita kembali menghidupkan kekayaan kuliner tradisional Indonesia yang alami dan sarat makna. Makanan camilan seperti kacang tanah, jagung rebus, singkong, ubi jalar, papaya, tape ketan, gethuk, klepon, apem gula merah, lopis, ubi bakar, hingga jagung titil khas Madura, bukan hanya lezat, tetapi juga lebih sehat dan kaya akan cerita sepanjang masa. Makanan-makanan ini layak untuk dipopulerkan kembali di meja makan keluarga Indonesia, dikenalkan kepada anak-anak, jika perlu dikemas secara kreatif agar tetap diminati generasi muda. Inilah warisan rasa yang tak hanya mengenyangkan, tetapi juga menguatkan identitas, mempererat ikatan, dan menyuburkan cinta dalam keluarga.

Lebih dari itu, makanan-makanan tradisional tersebut, meskipun disajikan secara sederhana dan alami, tetap memiliki kebanggaan tersendiri untuk tampil sangat mewah di forum-forum resmi baik tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Kehadirannya lebih layak untuk menggantikan makanan-makanan olahan yang biasa dipersembahkan untuk menghormat para tamu agung. Keberadaannya menjadi simbol bahwa Indonesia memiliki kekayaan kuliner yang otentik, sehat, dan penuh nilai budaya. Sebuah warisan yang tidak hanya layak dipertahankan, tetapi juga dipromosikan sebagai bagian dari diplomasi cita rasa dan identitas bangsa.

 


Editor: Achmad Firdausi