Gonjang-Ganjing Sound Horeg
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Senin, 21 Juli 2025
- Dilihat 68 Kali
Oleh: Dr. Imam Amrusi Jailani, M.Ag.
(Ketua Program Studi Doktor Ilmu Syariah Pascasarjana IAIN Madura)
Akhir-akhir ini publik digemparkan oleh berita tentang sound horeg. Masalah tersebut sudah masif di kalangan masyarakat bahkan sampai membuka perdebatan yang menimbulkan pro dan kontra. Bahkan sebagian dari Majelis Ulama Indonesia di tingkat kabupaten atau kota ada yang sampai mengeluarkan fatwa bahwa sound horeg itu haram.
Sound horeg itu sebenarnya sound sistem atau bunyi-bunyian yang memakai instrumen sebagaimana digelar di berbagai acara di kalangan masyarakat, baik di kantor-kantor maupun di acara-acara keagamaan, seperti di lapangan. stadion, aula, maupun di masjid-masjid. Akan tetapi kemudian yang menjadi persoalan adalah bunyi yang dikeluarkan dari sound itu ditengarai mengganggu terhadap masyarakat di sekelilingnya, baik mengganggu kepada pendengaran, sehingga sebagian sampai menutup telinga, atau bahkan sampai memecahkan kaca rumah ataupun menjatuhkan sebagian genteng atau atap rumah lainnya. Karena itulah kemudian sound yang bunyinya sampai mengganggu itu disebut dengan sound horeg.
Akar persoalannya sebenarnya bukan terletak pada instrumen sound tersebut, akan tetapi terletak pada bunyi yang ditimbulkan, sehingga jika bunyi atau suara yang timbul dari sound itu biasa-biasa saja, maka hal itu disebut sound sistem. Akan tetapi jika bunyinya sampai menimbulkan kegaduhan bagi para pendengar ataupun sampai merusak instalasi rumah berupa pecahnya kaca atau menjatuhkan genteng, maka itu disebut sound horeg. Kemudian timbul persoalan tentang keabsahan dari adanya sound horeg yang digelar di sebagian masyarakat, apakah itu boleh atau tidak boleh alias haram.
Dari telaah maslahah mursalah, pembolehan terhadap sesuatu harus mengandung kemaslahatan yang nyata bagi umat atau masyarakat. Jika keberadaan sound sistem itu lebih banyak manfaat daripada mudharatnya, seperti dalam penyelenggaraan pengajian, suara dari dzikir atau ceramah itu bisa dinikmati oleh kalangan yang lebih luas dan mereka merasa mendapatkan manfaat dari keberadaan sound itu, maka penyelenggaraan itu bermanfaat, sehingga secara telaah masalah mursalah dibolehkan karena mengandung kemaslahatan.
Tetapi sebaliknya, jika hal tersebut lebih banyak mudharatnya, seperti suaranya sangat memekikkan lengkingan suara dan menganggu telinga, sehingga bisa mengganggu selaput pendengaran dan akhirnya menimbulkan gangguan pada telinga, atau sampai menggetarkan barang-barang yang ada di sekelilingnya, seperti kaca rumah menjadi pecah, maka hal tersebut tentunya lebih banyak mudharatnya dan bisa dihukumi tidak boleh atau haram. Antara maslahah dan mudharat sangat kondisional, dan bisa saja penilaian terhadap hal tersebut subjektif atau objektif.
Namun dari analisis saddud dari'ah, jika hal tersebut membuka peluang untuk terjadi kemudharatan, karena mengganggu ketentraman dan keamanan publik, maka hal tersebut bisa ditutup peluangnya, sehingga dengan ditutupnya hal tersebut, maka tertutup pulalah adanya kemudharatan yang akan menimpa publik. Berdasarkan analisis ini, maka pihak yang berwenang bisa melarang adanya sound horeg itu untuk menghindarkan umat dari kemudharatan.
Kemudian muncul persoalan baru tentang batasan atau barometer apa yang dipakai untuk menentukan bahwa suatu instrumen bunyi-bunyian itu masih masuk kategori sound sistem atau sudah melampauinya sehingga masuk pada kategori sound horeg. Masalah ini akan menjadi sesuatu yang berkepanjangan karena memang belum ada barometer yang bisa dipakai untuk menentukan hal itu. Apalagi tidak ada regulasi aturan yang bisa dijadikan sebagai patokan untuk menetapkan bahwa suatu instrumen bunyi-bunyian yang dipakai dalam acara termasuk sound system biasa atau sudah masuk sound horeg. Inilah sebenarnya yang harus kita sepakati terlebih dahulu sebelum menentukan apakah instrumen sound yang dipakai itu boleh atau tidak boleh, sehingga dengan adanya kesepakatan bersama, maka kemungkinan gonjang-ganjing tentang adanya sound horeg akan menemui titik terang.
Kita mungkin bisa berharap semoga masalah ini akan segera bisa mendapatkan regulasi aturan yang memuaskan masyarakat, sehingga masyarakat tidak lagi dihantui oleh hal-hal yang tidak ada kepastiannya dalam menyelenggarakan hajatan. Kepastian inilah yang ditunggu oleh kalangan masyarakat, sehingga mereka merasa nyaman dalam menyelenggarakan hajatan.
Editor: Achmad Firdausi