PUASA DALAM DIMENSI PENDIDIKAN
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 14 Maret 2025
- Dilihat 48 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Adakah hubungan antara puasa dengan pendidikan? Untuk menjawab ini, perlu mendefinisikan keduanya. Puasa adalah upaya menahan diri dari hal-hal yang dilarang, mulai dari terbit fajar sampai mentari terbenam. Tujuannya, agar meraih takwa (la`allakum tattaqūn). Sedangkan pendidikan (Islam) adalah upaya pengembangan potensi peserta didik agar menjadi pribadi yang bertakwa.
Jadi, dari sisi tujuan, keduanya memiliki titik temu, sama-sama untuk meraih takwa. Karena waktunya yang singkat, sebulan penuh, puasa Ramadan dapat disebut madrasah kecil. Sedangkan pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat, disebut madrasah besar. Kendati sebagai madrasah kecil, puasa Ramadan bisa berdampak besar bagi pencapaian tujuan madrasah besar. Karena itu, di beberapa pesantren, atau di kalangan pengamal tarekat tertentu, puasa menjadi salah satu riyadhah untuk membersihkan dan menyucikan hati menuju takwa. Hal ini, karena dalam puasa terkandung nilai-nilai penting pendidikan, yakni pendidikan akidah, pendidikan ibadah, dan pendidikan akhlak.
Pendidikan akidah, ditunjukkan bahwa pengawasan Allah selalu melekat pada setiap insan, di manapun dan kapanpun. Karena itu, orang yang benar-benar berpuasa, tidak akan berani membatalkan puasanya ketika sedang haus dan lapar meskipun dengan mudah melakukannya. Karena mereka menyadari, pasti hal tersebut diketahui Allah. Dalam aspek inilah, puasa sangat bernilai di sisi Allah, sehingga Allah berfirman “As-shaumu lī wa ana ajzī bihī” (puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya).
Pendidikan ibadah, ditunjukkan dengan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi dalam menjalankan ibadah puasa, yakni mencegah dari hal-hal yang dilarang, mulai dari terbit fajar sampai mentari terbenam. Jika larangan-larangan tersebut dilanggar, maka puasanya batal. Dalam hal ini, setiap muslim yang hendak menjalankan puasa, dituntut untuk belajar tatacara berpuasa, agar ibadah puasanya sah secara hukum fiqh.
Pendidikan akhlak,ditunjukkan bahwa orang yang berpuasa dilatih disiplin, bersabar, jujur, mengendalikan nafsu syahwat, dan empati. Disiplin, dalam arti berbuka pada waktunya, mulai berpuasa jika tiba waktunya, dan disiplin untuk menjauhi hal-hal yang dilarang. Selain itu, bulan Ramadan waktunya hanya sebulan, sedangkan keberkahan dan pahala dilipatgandakan. Karena itu, setiap diri perlu disiplin untuk mengatur dan memanfaatkan waktu untuk beribadah. Jangan sampai menyesal setelah berpisah dengan Ramadan, karena merasa tidak berbuat apa-apa selama sebulan.
Sabar dalam menjalankan perintah, tidaklah mudah. Apalagi harus mencegah makan, minum, dan hubungan seksual mulai dari terbit fajar sampai mentari terbenam. Karena ketiga hal ini merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga tidak mudah dicegah meskipun dalam waktu terlarang tersebut, apalagi setiap hari dalam sebulan. Hanya orang yang bersabar yang bisa melakukannya. Karena itu, berpuasa di bulan Ramadan merupakan wahana melatih diri untuk bersabar dalam menjalankan perintah Allah.
Kejujuran juga dilatih dalam puasa. Bisa saja seseorang mengaku berpuasa pada temannya, padahal dia baru saja makan di tempat tersembunyi. Tentu, hal ini tidak akan dilakukan oleh orang yang benar-benar berpuasa, karena itu perbuatan tidak jujur. Dan sekali tidak jujur, biasanya akan diikuti ketidakjujuran berikutnya, untuk mempertahankan ketidakjujuran sebelumnya. Begitu seterusnya.
Menyukai lawan jenis merupakan fitrah manusia. Tapi jika kecenderungan ini dibiarkan begitu saja, dampaknya akan membahayakan seperti pergaulan bebas dan pemerkosaan. Karena itu, nafsu syahwat tersebut harus dikendalikan, antara lain melalui puasa. Terkait hal ini, Rasulullah bersabda ““ ... Barang siapa belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena puasa itu dapat mengendalikanmu.”
Empati juga dilatih dalam puasa. Dengan berpuasa sebulan penuh, akan merasakan betapa lapar dan haus itu tidak enak, dan suatu penderitaan. Sehingga melalui puasa, diharapkan lahir sikap empati atas penderitaan kaum fakir miskin yang susah makan, susah tidur. Dan dari simpati,diharapkan meningkat menjadi aksi nyata untuk membantu kaum du`afa.
Pertanyaannya, apakah puasa Ramadan sebagai madrasah kecil akan benar-benar berdampak bagi pencapaian tujuan pendidikan sebagai madrasah besar? Tergantung penerimaan seseorang dalam menjalankan kewajiban puasa. Bisa jadi, motivasi orang berpuasa berbeda. Ada yang karena terpaksa, ada yang karena sekedar menggugurkan kewajiban, dan ada yang karena lillāhi ta`āla dan mengharap ridha Allah.
Ketiga motivasi berpuasa tersebut, sama-sama telah menggugurkan kewajiban secara fiqh. Tapi apakah nilainya sama di sisi Allah? Tentu saja tidak. Puasa yang diterima Allah, berdasar sabda Rasulullah adalah “Man shāma ramadhāna īmānan wahtisāban ghufira lahū mā taqaddama min dzanbihī” Barang siapa berpuasa karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosa yang telah lalu”. Jadi kata kuncinya adalah “īmānan wahtisāban.” Puasa yang begini yang akan berdampak bagi pencapaian tujuan akhir puasa, dan tujuan akhir pendidikan, yakni takwa. Wamā taufīqī illā billāh. (79)
Editor: Achmad Firdausi