Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

Menjadikan Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Dinamis Progresif

  • Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
  • Rabu, 26 Oktober 2016
  • Dilihat 63 Kali
Bagikan ke

 * • Affan, tenaga kependidikan dan pengembang perpustakaan Pascasarjana STAIN Pamekasan.

Pesantren -yang tidak akan pernah habis diteliti dan senantiasa menjadi perbincangan para peneliti pendidikan- harus pro dan aktif dalam menghadapi serta merespons isu-isu kontemporer (meminjam istilah Abinawal: pandai menempatkan diri). Pesantren sedianya harus mampu dan senantiasa dapat mengadopsi sistem-sistem pendidikan kontemporer, yang alumninya diharapkan mampu dan bisa bersaing dengan sistem-sistem pendidikan di luar pesantren. Hal itu akan menjadikan pesantren mampu mempertahankan eksistesinya, pesantren yang senantiasa up to date dan mampu berkompetisi dengan dunia global.

Ada tiga langkah ideal yang perlu dilakukan pesantren saat ini. Pertama, sentralisme kepemimpinan (kalau zaman orde baru dikenal dengan istilah top down) dan disorientasi ‘memang’ perlu dibenahi. Kepemimpinan pesantren diusahakan lebih terbuka (open minded), demokratis (yang tidak kebablasan) dan profesional sistematis.

Pengasuh tetap menjadi top leader, namun beliau juga harus memberikan ruang kebebasan inovasi dan ekspresi untuk pembaharuan pesantren. Inovasi ini tetap dalam kerangka tafaqquh fid din dan makârim al akhlâq, atau istilah Mastuki -dalam bukunya- kebebasan berinovasi tersebut tetap mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma Islam (islamic values). Kurikulum pesantren harus didinamisasi sehingga menjadi responsif progresif terhadap isu-isu kontemporer. Dalam jangka pendek, fungsionalisasi, optimalisasi, dan rasionalisasi ushul dan qowa’id fiqh menjadi sebuah keniscayaan. Dua landasan filsafat Islam ini yang oleh banyak pihak disebut sebagai mediasi antara ortodoksi dan rasio harus didayagunakan. Tidak sekedar menjadi penguat teks-teks (ibarat) yang ada dalam al-kutub al shafrâ’. Aura teologis yang ada dalam fiqh demi sedikit harus direduksi. Kalau ini sudah berjalan, seperti ushul fiqh muqôron (lintas madzhab), kemudian membaca metodologi Barat, orientalis, sebagai bahan dalam melakukan critics constructiveness of counter discourse (kritik konstruktif wacana tandingan) yang selama ini digembor-gemborkan. Kalau ini mampu direalisir, pesantren akan menjadi mata air yang tidak habis-habisnya dikaji karena kekayaan tradisinya yang begitu luar biasa hebatnya. Dalam melakukan semua itu pesantren harus memantapkan posisi, eksistensi, dan proyeksinya ke depan secara mantap, tidak terombang ambing oleh pihak lain. Pesantren yang selalu melakukan perubahan kurikulumnya karena mengikuti kemauan pasar dalam waktu yang tidak lama kehilangan jati diri, orientasi hidup, dan fungsi strategisnya. Disorientasi ini sudah menghinggapi hampir semua pesantren yang mulai kehilangan independensinya di tengah tantagan modernitas.

Kedua, pesantren harus membangun maktabah (perpustakaan) yang representatif sesuai dengan kebutuhan pesantren. Tatakelola maktabah tersebut juga harus profesional dan dilengkapi dengan literatur klasik (kitab-kitab klasik dan kontemporer. Perpustakaan dalam hal ini berfungsi menjadi forum dinamisasi dan revitalisasi khazanah keilmuan pesantren di tengah pemikiran. Maktabah tersebut dapat digunakan untuk mengasah pisau analisis dengan optimalisasi kajian dari berbagai sisi untuk mencari formula baru bagi pengembangan al-kutub al-diniyah yang maslahah mursalah.

Ketiga, digitalisasi pesantren. Pesantren yang berbasis teknologi modern dan perpustakaannya mampu menyajikan informasi yang senantiasa up to date, akan menjadi pusat kajian Islam, tidak hanya nasional, tapi juga go internasional. Di tengah kecanggihan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, pesantren dituntut untuk senantiasa menyesuaikan diri dan beradaptasi secara cepat (atau dalam kaidah fiqh, sâlihun likulli zamân wa makân), dengan memanfaatkan teknologi dan informasi dalam menunjang misi dakwahnya, dan selalu mencari terobosan baru yang progresif, kreatif dan antisipatif bagi dinamisasi dan aktualisasi. Membuat website pesantren adalah salah satu kreasi positif yang patut dikembangkan. Sehingga pesantren tidak terkesan tradisional, kampungan, agraris, tempat uzlah (menarik diri), akan tetapi pesantren sekarang tampil modist dan modern yang mempunyai visi mendunia dan global (global vision).

Tiga langkah ini dalam rangka mempersiapkan lahirnya figur leaders (kalau di pesantren dikenal dengan kiai, ulama dan tokoh masyarakat) yang berkualitas mumpuni, serta mampu memandu atau bahkan mengendalikan perubahan dunia yang saat ini sudah materialistik, rasionalistik, dan hedonistik, menuju tatanan kehidupan pesantren yang religius, kompeten, progresif, dan kompetitif humanistik. Abdul Djamil (2007), menjelaskan bahwa peran ganda pesantren adalah harus merespons setiap dinamika zaman, dan harus konsisten dengan identitas aslinya (al muhâfadhatu alal qadimis shâlih) sebagai pertahanan terakhir moralitas santri yang akan kembali menjadi masyarakat pasca menimba ilmu di pesantren, yang mereka berjibaku di tengah penetrasi globalisasi. Wallahu a’lam.