Hakikat Rasa Malu
- Diposting Oleh Admin Web IAIN Madura
- Jumat, 2 Juni 2017
- Dilihat 478 Kali
Salah satu tuntunan Rasulullah SAW. yang saat ini sudah mulai luntur sedikit demi sedikit di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara ialah “rasa malu”. Rasa malu bukanlah suatu sikap di mana seseorang tidak mampu berinteraksi dengan baik dengan orang lain atau merasa tidak percaya diri, dan juga bukanlah seseorang yang tidak berani menghadapi sesuatu. Akan tetapi, yang dimaksud malu di sini adalah terkendalinya jiwa dari perbuatan tercela sehingga ia enggan untuk melakukan perbuatan tercela tersebut. As’ad ash-Shagharji menyebutkan beberapa definisi terkait dengan rasa malu ini, yaitu: Keengganan hati melakukan suatu hal karena khawatir akan mendapat celaan. Suatu perubahan yang muncul dalam hati ketika ada perasaan takut dihina dan dicela. Sebuah perangai yang mendorong pemiliknya meninggalkan keburukan dan melakukan kebaikan. Rasulullah SAW. secara khusus menyebut rasa malu ini sebagai bagian dari cabang-cabang iman. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. Bersabda: “iman memiliki lebih dari tujuh puluh tujuh cabang atau lebih dari enam puluh cabang. Yang paling utama adalah ucapan Lailah illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan hal yang mengganggu di jalan. Dan malu termasuk salah satu cabang iman.” (HR. Muslim: 1/63). Berkaitan dengan hadits ini, mengapa rasa malu disebut sebagai bagian iman? Untuk dapat menjawabnya, kita bisa melihat pendapat al-Imam al-‘Aini yaitu “karena dengan rasa malu, jiwa seseorang akan terdorong untuk melakukan kebaikan dan akan terbentangi dari perbuatan maksiat. Rasa malu itu terkadang timbul karena suatu upaya sebagaimana pula dalam beramal kebaikan dan terkadang pula sebagai sifat bawaan semenjak lahir. Penerapan rasa malu yang bersifat bawaan harus sesuai dengan tuntunan syar’i, dan itu pun membutuhka upaya dan niat, oleh karena itulah sifat tersebut merupakan bagian dari pada iman ” Rasa malu merupakan salah satu sifat terpuji yang diseru oleh syara’. Dari Sa’id ibn Zaid r.a. bahwa seorang lelaki berkata: wahai Rasulullah, berilah aku wasiat. Rasulullah SAW. bersabda: aku berwasiat kepadamu agar kamu malu kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada seorang lelaki shaleh dari kaummu.” Dari ibn Mas’ud al-Badari r.a. bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda: “sesunguhnya diantara perkataan yang didapatkan dari nubbuwah yang pertama: apabila engkau tidak malu maka lakukanlah apa saja yang engkau kehendaki”. Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa malu sebagai perisai bagi seseorang dari tindakan yang bisa memudharatkannya atau merusak akhlak dan mura’ahnya, sebab jika seseorang terlepas dari sifat malu ini maka dia tidak akan menghiraukan apapun keburukan yang dilakukannya. Ibnul Qayyim berkata: salah satu akibat kemaksiatan adalah hilangnya rasa malu sebagai unsur utama hidupnya hati, dia adalah pondasi setiap kebaikan, maka hilangnya rasa malu dari seseorang berarti sirnanya seluruh kebaikan. Dalam hal ini, dosa-dosa akan melemahkan rasa malu seseorang dan akan menghilangkannya secara keseluruhan, bahkan terkadang dia tidak merasakan adanya pandangan manusia terhadap kondisi dan keadaannya yang buruk. Selain itu, banyak orang yang justru asyik menceritakan keburukan dirinya dan kebusukan apa yang telah diperbuatnya. Faktor utama yang mendorongnya berbuat demikian adalah karena telah sirnanya rasa malu. Sehingga dari hal tersebut, tidak ada lagi rasa canggung untuk melakukan apa pun yang ia inginkan meskipun perbuatan itu bertentangan dengan kebenaran. Banyak sekali perbuatan maksiat yang terjadi karena hilangnya rasa malu dalam diri seseorang, misalnya perzinahan, konsumsi minum-minuman keras dan narkoba, berbagai macam bentuk penipuan dan korupsi, aksi pembunuhan, konflik yang berkepanjangan, aksi terorisme dan aksi intoleran, dan perbuatan bejat lainnya yang terjadi di Negara ini. Bahkan, ada sebagian perbuatan maksiat yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat, misalnya seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhri yang selalu berduaan di tempat umum, perempuan yang berpakaian serba ketat atau membuka aurat, berghibah, dan sebagainya. Semua peristiwa ini terjadi bukan karena pelaku-pelakunya tidak memiliki ilmu pengetahuan. Tetapi, karena tidak adanya rasa malu dalam diri mereka. Berkaitan dengan semakin banyaknya perbuatan-perbuatan negatif yang terjadi, tidak sedikit dari masyarakat yang terkadang merasa bingung dan takut untuk menegur masyarakat lain yang berbuat hal-hal negatif tersebut. Dan berkaitan dengan hal ini, Imam Nawawi berkata: terkadang orang merasa bingung, di mana seseorang yang pemalu merasa malu mengarahkan orang yang dihormatinya kepada kebenaran, sehingga akhirnya ia meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, terkadang rasa malu membawanya untuk meninggalkan beberapa haknya. Maka jawaban terhadap perkara ini adalah apa yang telah diungkapkan oleh para ulama, seperti Abu Amr bin Ashalah: bahwa perkara ini tidak termasuk di dalam kategori malu, bahkan dia termasuk kelemahan dan kehinaan serta kehancuran. Sebab malu yang sebenarnya adalah sebuah sifat baik yang mendorong seseorang meninggalkan perbuatan buruk dan mencegah seseorang dari melalaikan hak orang lain. Imam al-Qusyairi mengatakan bahwa rasa malu terbagi dan termotivasi oleh banyak hal antara lain sebagai berikut: Haya’ jinayah, yaitu malu yang disebebkan mempunyai kesalahan sebagaimana rasa malu yang dimiliki Nabi Adam a.s. ketika beliau berlari dalam surga. Allah bertanya kepada Adam. “apakah kamu berlari karena menghindar dari-Ku wahai Adam?” Adam menjawab, “tidak wahai Tuhanku, tapi karena merasa malu kepada-Mu.” Haya’ taqshir, yaitu rasa malu yang diakibatkan keteledoran sebagaimana rasa malu para malaikat yang senantiasa bertasbih siang dan malam tidak kenal lelah, pada hari kiamat nanti mereka berkata kepada Allah, “Maha suci Engkau Ya Allah. Kami tak bisa mengabdi kepada-Mu dengan sebaik-baik pengabdian.” Haya’ ijlal, yaitu rasa malu yang muncul karena pengagungan dan ini dimulai dari makrifat kepada Allah, semakin banyak makrifat hamba kepada Tuhannya maka semakin bertambah pula rasa malu kepada Rabb-nya. Seperti rasa malu yang ditunjukkan oleh malaikat Israfil a.s. dengan melipatkan sayapnya hingga seperti pakaian biasa karena merasa malu kepada Allah. Haya’ karam, yaitu rasa malu yang menggambarkan akan kemuliaan pemiliknya. Seperti rasa malu Rasulullah SAW. untuk menyuruh para sahabat agar keluar dari rumah beliau setelah selesainya walimah pernikahan beliau dengan Zainab r.a. Saat upacara walimah selesai, para sahabat tidak langsung keluar tetapi malah mulai membuka pembicaraan hingga mereka akhirnya berada lama di rumah Rasulullah. Rasulullah merasa terganggu dengan hali itu, tetapi beliau tidak kuasa untuk mengungkapkannya pada para sahabat. Akhirnya turunlah Ayat: “... dan bila telah selesai makan maka keluarlah kalian tanpa asyik memperpanjangkan percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu dia malu kepada kalian...” (al-Ahzab: 53) Haya’ hasymah, yaitu seperti rasa malu Ali r.a. ketika harus bertanya tentang madzi (lendir yang keluar dari kemaluan ketika sedang syahwat). Kemudian beliau menyuruh Miqdad ibnul Aswad agar bertanya kepada Rasulullah. Rasulullah saw memberi jawaban bahwa orang yang mengeluarkan madzi harus berwudlu dan membasuh kemaluannya (HR Bukhari-Muslim). Haya’ istiqar, yaitu rasa malu yang dimiliki oleh seseorang yang merasa rendah diri, sebagaimana seorang budak malu meminta segala kebutuhan kepada tuannya karena dia merasa hina. Haya’ Mahabbah, yaitu malunya seorang pecinta kepada orang yang dicintainya. Bila terlintas bayangan sang kekasih segera rasa malu akan muncul dalam hati yang kemudian tersalurkan di wajah tapi dia tidak tahu apa sebab dari semuanya. Atau rasa malu itu muncul ketika terjadi pertemuan dan percakapan. Haya’ ubudiyayah. Malu ini adalah kumpulan dari segala rasa cinta dan rasa takut yang dibarengi dengan perasaan akan suatu keteledoran seorang penyembah kepada yang ia sembah, akhirnya rasa rendah dihadapan Sang Pencipta itu akan memunculkan perasaan malu dalam hati si penyembah. Haya’ syaraf dan harga diri, yaitu rasa malu yang ditunjukkan oleh pribadi-pribadi yang berbudi agung ketika melihat dirinya tidak bisa melakukan hal yang sesuai dengan pangkat dan derajat yang dia miliki. Rasanya kebaikan atau kedermawanan yang dia berikan kepada orang terasa kurang sempurna dan kurang maksimal, karena inilah dia merasa malu. Rasa malu seorang mukmin sejati dengan melihat dirinya senantiasa teledor akan hak dan kewajiban dia terhadap Tuhannya. Karena ituah, dia rela dengan derajat rendah dan sama sekali tidak berpikir bahkan tidak merasa pantas menempati kedudukan tinggi di sisi Tuhannya meski dia orang yang senantiasa taat kepada-Nya. Haya’ in’am, yaitu rasa malu Allah kepada hamba-Nya dan tentunya kia harus menjaga hati kita dengan tetap beritikad bahwa Allah tidak serupa dengan segala yang baru, meski Alah punya rasa malu tetapi rasa malu itu tidak sama dengan rasa malu yang dimiliki hamba-Nya. Rasa malu Allah terhadap hamba-Nya adalah karena Allah senantiasa berbuat baik dan memberikan segala kedermawanan kepada hamba-Nya. Allah malu kepada hamba ketika tangan hamba itu menengadah dan memohon kepada-Nya kemudian membiarkan tangan itu kembali dengan hampa. Allah juga malu memberikan siksa di neraka kepada seorang hamba yang beruban di waktu dia memeluk Islam. Dalam sebuah cerita diceritakan bahwa pada saat hari kiamat, setelah melintasi shirat, Allah memberikan catatan-catatan amal kepada seorang hamba, ditulis dalam catatan itu bahwa hamba itu melakukan ini dan itu, tetapi Allah malu mengungkapkannya, akhirnya Allah mengampuni hamba itu dan memerintahkannya masuk ke dalam surga. Nah... dari sekian banyaknya paparan di atas, memang jelas bahwa ketika seseorang sudah tidak punya rasa malu lagi, maka tibalah kehancuran baik bagi dirinya sendiri, orang lain, atau bahkan bagi suatu bangsa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. “Jika Allah hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu”. Oleh karena itu, agar tidak sampai pada kehancuran, maka peliharalah rasa malu. Lalu... sekarang bagaimana dengan kita, masihkah ada rasa malu dalam diri kita? Wallahu a’lamu... Mafrudah Mahasiswi PBA (A) STAIN Pamekasan