PILKADA BERTABUR SANTRI
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 8 November 2024
- Dilihat 84 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Pilkada serentak di sebagian wilayah NKRI akan digelar tanggal 27 November 2024, yang akan memilih calon pimpinan daerah (bupati dan wakilnya/walikota dan wakilnya, serta gubernur dan wakilnya). Inilah pilkada serentak pertama di awal pemerintahan baru, Presiden Prabowo, yang dilantik 20 Oktober lalu.
Yang menarik dari pilkada kali ini, keterlibatan kaum santri sebagai calon kian tampak. Sebut saja di Pulau Madura, dari empat kabupaten, hanya Bangkalan yang calon kepala daerahnya tidak berasal dari pesantren. Sebenarnya bukan tidak ada, tapi karena calon dari kaum santri tidak mendapat dukungan partai yang cukup untuk mendaftar. Tiga kabupaten lainnya, bertabur kaum santri. Di Sumenep, ada Kiai Fikri & Kiai Unais, calon bupati-wakil bupati. Ada Kiai Imam Hasyim sebagai calon wakil bupati dari M. Fauzi.
Di Pamekasan, dari tiga pasang calon, masing-masing ada warna kaum santri. Kiai Holilurrahman sebagai calon Bupati yang berpasangan dengan Sukriyanto, Lora Bakir sebagai calon Bupati yang berpasangan dengan Taufadi, dan Kiai Mujahid Ansori sebagai calon wakil Bupati yang berpasangan dengan Fattah Yasin (calon Bupati).
Di Kabupaten Sampang, dari dua pasang calon, masing-masing ada warna pesantren. Lora Mamak sebagai calon Bupati yang berpasangan dengan Haji Abdullah, dan Lora Mahfud sebagai calon wakil Bupati yang berpasangan dengan Haji Idi (calon Bupati).
Sebenarnya kaum santri berpolitik sah-sah saja, bahkan hak tiap warganegara untuk memilih dan dipilih. Tentang siapa yang terpilih, urusan lain. Yang menjadi pertanyaan, apakah keterlibatan mereka bisa mewarnai proses dan hasil pilkada? Tentu saja yang dimaksud adalah warna positif, mengingat pesantren, kata Gus Dur, adalah subkultur yang memiliki karakter khas yang sarat dengan nilai-nilai moral berlandaskan kitab kuning.
Dalam proses pilkada, dua hal yang paling krusial adalah politik uang dan kampanye hitam. Melalui politik uang ini, calon kepala daerah bisa menghabiskan puluhan milyar untuk mempengaruhi pemilih. Dari mana uangnya? Jika calon tidak beruang, maka harus mencari bandar yang siap membiayai. Tentu dengan kalkulasi yang tidak merugikan bandar, jika calonnya terpilih.
Kampanye hitam juga merupakan sisi gelap dalam proses pilkada. Aib calon dicari dan dibuka ke publik, guna meruntuhkan pamor lawannya. Saling serang antara pendukung, semakin parah ketika disiarkan melalui medsos. Dalam hal ini, calon dari kaum santri memiliki pendukung fanatik dari santri dan alumni, yang berpotensi menjunjung calonnya setinggi langit dan merendahkan lawannya kelewat batas.
Nah, idealnya, calon dari kalangan pesantren bisa menekan dua sisi gelap tersebut, sehingga proses pilkada menjadi proses demokrasi yang sehat dan rukun. Jangan sampai sebaliknya, justru menyuburkan keduanya, sehingga tidak ada bedanya dengan calon dari luar pesantren.
Dari hasil pilkada, kepala daerah terpilih akan bekerja selama lima tahun. Tentu saja publik berharap, kepala daerah terpilih adalah sosok yang tidak korup dan mampu membangun daerah menjadi lebih baik.
Namun, kepala daerah yang tidak korup, diragukan banyak kalangan. Besarnya politik uang, menjadikan kepala daerah tidak mudah untuk tidak korupsi, untuk mengembalikan dan menutupi biaya selama proses pilkada. Bagaimana tidak korupsi, biaya untuk terpilih mencapai puluhan milyar, sedangkan gaji pokok bupati hanya 7 jutaan sebulan. Sehingga Mahfud MD pernah berkelakar "Jadi kalau sistemnya seperti ini, malaikat pun akan jadi iblis. Malaikat pun jadi kepala daerah bisa jadi iblis karena modalnya besar, politik uangnya luar biasa."
Lalu, bagaimana dengan kepala daerah dari kalangan santri? Tidak ada jaminan tidak korupsi. Bahkan, maaf, pernah ada dua kepala daerah dari kaum santri yang tertangkap KPK saat menjabat. Namun, kita masih berharap, kepala daerah dari kaum santri memiliki nilai plus dibanding non-santri. Wamā taufīqī illā billāh (59).
Editor: Achmad Firdausi