PERJALANAN HAJI: PERJALANAN MENUJU ALLAH
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Senin, 28 April 2025
- Dilihat 18 Kali
Oleh: Dr. Imam Amrusi Jailani, M.Ag.
(Ketua Program Studi Doktor Ilmu Syariah Pascasarjana IAIN Madura)
Kalau ditelisik di dalam kitab-kitab fikih, maka akan didapati suatu pemaknaan tentang haji bahwa haji adalah merencanakan perjalanan dan mengaplikasikannya menuju Baitullah untuk melaksanakan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala yang akhirnya dikenal dengan manasik haji. Dalam hal ini, haji seringkali diidentikkan dengan perjalanan, baik perjalanan fisik maupun perjalanan spiritual. Perjalanan fisik memerlukan suatu kekuatan yang bersifat materi yang akhirnya kekuatan itu di manifestasikan dalam bentuk istitha'ah yang menjadi syarat seseorang untuk bisa melaksanakan haji.
Ibadah haji merupakan ibadah fisik, ibadah materi dan ibadah spiritual. Dikatakan ibadah fisik karena haji memerlukan kekuatan fisik yang prima, karena kekuatan fisik itu menentukan apakah kita bisa berangkat dari rumah atau dari embarkasi di tanah air ke Makatul Mukarramah atau Madinatul Munawwarah yang jaraknya mendekati 10.000 km dari kita berdiri di tanah ini. Tanpa adanya kekuatan fisik, maka tidak bisa seseorang menempuh perjalanan, sekalipun memakai alat transportasi yang bisa mengantarkannya dengan jarak yang begitu jauh tersebut hanya dengan waktu 10 jam. Oleh karena itu, seseorang yang hendak melaksanakan ibadah haji disyaratkan untuk memiliki keterangan sehat secara jasmani dan rohani agar bisa dijamin tidak akan menemui kendala yang serius dalam rangkaian perjalanannya. Istitha'ah kesehatan menjadi salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk bisa diberangkatkan haji ke Baitullah. Begitu pula dengan istitha'ah materi, seseorang yang hendak menunaikan ibadah haji disyaratkan secara materi harus menyetorkan biaya perjalanan haji dengan setoran awal minimal 25 juta rupiah dan nanti setelah tiba waktunya dipanggil untuk berangkat ibadah haji, maka harus melunasi sisanya dalam kisaran 37 juta atau bisa lebih dan kurang. Seseorang yang telah melunasi biaya perjalanan haji, maka dianggap dia sudah mampu secara materi untuk bisa diberangkatkan menunaikan ibadah haji ke Makkatul Mukarramah dan Madinah. Besarnya biaya yang dikeluarkan itu mungkin merupakan syarat minimal yang menandai seseorang itu mampu secara materi karena masih ada lagi yang harus dipenuhi, seperti sangu, kebutuhan keluarga yang ditinggalkan di rumah, serta hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting seperti selamatan atau walimatul hajj bagi mereka yang mampu walaupun sebenarnya itu tidak menjadi syarat haji, hanya sekedar tradisi saja untuk sekedar bisa berpamitan kepada keluarga sanak kerabat, tetangga dan handai taulan tatkala berkumpul di rumah kita.
Kemudian syarat istitha'ah yang lain itu adalah sehat rohani atau lebih sempurnanya syarat spiritual yang harus dimiliki oleh hamba Allah untuk sampai kepada Sang Khalik. Pada titik ini seseorang yang melaksanakan ibadah haji bukan hanya sekedar mengadakan perjalanan karena sudah mampu secara fisik dan harta, melainkan juga yang paling penting yang dituju itu adalah memenuhi panggilan Allah subhanahu wa ta'ala yang tiada lain yang diharapkan adalah mendapatkan ridha dari Allah subhanahu wa ta'ala. Perjalanan spiritual menuntut kita untuk selalu ikhlas dalam melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, sehingga dengan keikhlasan itu, maka hajinya yang mabrur itu sudah di persiapkan surga tempat dia hidup selama-lamanya. Inilah perjalanan spiritual seorang hamba menuju kepada Tuhannya yang tentunya harus didukung oleh kemampuan fisik dan materi. Akan tetapi tujuan yang sebenarnya itu adalah sesuatu yang bersifat rohani atau spiritual yaitu mendapatkan kedamaian berada di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala.
Perjalanan spiritual yang dilakukan seorang hamba bertujuan untuk menunjukkan bahwa dirinya benar-benar hamba Allah subhanahu wa ta'ala yang dibanggakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, bahkan melebihi kebanggaan terhadap para malaikat Allah. Itulah yang ditunjukkan oleh Allah kepada para malaikat, di mana mereka disuruh melihat hamba-hamba Allah yang menunaikan ibadah haji, tatkala mereka berkumpul di Arafah. Kemudian Allah perintahkan malaikat, lihatlah para malaikat-Ku itulah hamba-hamba-Ku yang dulunya kau ragukan kesetiaan dan keikhlasannya kepada-Ku. Maka lihatlah sekarang mereka berkumpul di Arafah itu semata-mata hanya mengharapkan keribaan dari-Ku, kata Allah. Mereka rela meninggalkan tanah airnya demi Saya. Mereka rela mengorbankan harta dan bisnis yang dibangunnya, semata-mata karena Saya. Mereka rela mengorbankan segala-galanya hanya untuk keridhaan dari Allah subhanahu wa ta'ala. Maka mereka berkumpul di Arafah tidak bersama keluarganya, tidak membawa hartanya, pangkatnya, kedudukannya, dan mereka berkumpul dengan saudara-saudaranya yang jauh yang selama hidupnya bahkan belum pernah dikenal oleh mereka. Itulah perjalanan spiritual yang dijalankan oleh hamba-hamba Allah yang hanya mendambakan kesolehan dan keridhaan dari Allah subhanahu wa ta'ala.
Hanya satu hal yang diidamkan oleh mereka yang menunaikan ibadah haji, yaitu ridha Allah. Keridhaan Allah berada di atas segala-galanya. Kalau boleh berkata, ridha Allah adalah harga mati, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau Allah sudah ridha, maka segala fasilitas kebahagiaan hamba-Nya disediakan sebagai ekspektasi baginya. Dengan demikian, Allah sangat dekat dengan hamba-Nya. Perjalanan haji adalah perjalanan menuju Allah, sedangkan Allah sendiri sangat dekat dengan hamba-Nya. Jika sudah demikian kondisinya, maka perjalanan haji itu akan terasa dekat dan ringan, serasa tujuan ada di hadapan mata. Bagi hamba yang seperti itu, mabrurnya haji merupakan hadiah terindah dalam hidupnya. Surga sudah disediakan baginya. Semoga seluruh Jemaah haji meraih kemabruran dalam hajinya. Selamat jalan para tamu Allah. Semoga menjadi manusia yang diridhoi oleh Allah subhanahu wa ta'ala.
Editor: Achmad Firdausi