DINAMIKA PESANTREN
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Jumat, 1 November 2024
- Dilihat 85 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Pasca kemerdekaan, pemerintah segera menyusun suatu sistem pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan menjadikan sistem sekolah peninggalan penjajah sebagai model. Maka didirikanlah sekolah-sekolah dasar hingga ke pelosok negeri.
Di pihak lain, pondok pesantren yang sudah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka, terus pula melaksanakan misi utamanya, mendidik santri agar menjadi sosok yang ahli agama melalui kajian kitab kuning, tanpa berorientasi ijazah formal.
Demikian pula pesantren modern, yang dimotori Pesantren Gontor, yang sejak 1936 telah melakukan modernisasi dengan model KMI (Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah), juga tetap melaksanakan pendidikannya. Namun, lulusan KMI ini, meskipun kualitas lulusannya mengalahkan sekolah/madrasah sederajat pada umumnya, tidak diakui pemerintah karena tidak mengikuti sistem yang diterapkan pemerintah. Sehingga lulusannya tidak bisa bekerja di kantor-kantor pemerintah, dan tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi negeri.
Tapi, Pesantren Gontor dan beberapa pesantren yang mengikuti, tetap bertahan dengan model yang dikembangkan karena mereka sangat yakin, model itu yang terbaik dibanding sistem sekolah. Toh, meskipun tidak diakui di dalam negeri, lulusannya diterima dengan mudah di sejumlah perguruan tinggi Islam di luar negeri.
Adapun sebagian besar pesantren, memilih jalan aman dengan mengadopsi sistem sekolah pemerintah agar lulusannya memiliki ijazah yang diakui pemerintah, di samping tetap menjalankan misi utamanya menyiapkan kader ulama. Sehingga berdirilah sekolah/madrasah dengan kurikulum pemerintah, di banyak pesantren.
Namun, kehadiran sistem sekolah/madrasah ini, dapat mengganggu misi utama pesantren sebagai lembaga pencetak ulama. Karena banyak santri lebih mengutamakan mendapat ijazah daripada menguasai kitab kuning. Terbukti, setelah lulus sekolah formal, mereka berhenti mondok, untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di luar pesantren, meskipun belum bisa membaca kitab kuning. Dapat dikata, santri demikian menjadi “korban” masuknya sistem sekolah ke pesantren.
Perkembangan berikutnya, pemerintah mulai melirik sistem sekolah khas pesantren sebagaimana model KMI Gontor dan pesantren yang mengikuti, dengan mengakui lulusannya setara dengan lulusan SMA sederajat, berdasar Keputusan Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama No. E.IV/PP.032/K.EP/80/1998 dan berdasar Keputusan Mendiknas No. 106/0/2000.
Pengakuan tersebut menjadi modal untuk terus memperbaiki sistem pendidikan pesantren sambil terus berusaha agar lulusan pesantren tidak hanya sekedar disamakan, melainkan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang setara. Juga agar pesantren bisa menjadi penyelenggara pendidikan formal khas pesantren tanpa menggangu misi utama pesantren sebagai lembaga kader ulama.
Upaya tersebut menemukan momentumnya setelah pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007, dan puncaknya adalah terbitnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Maka, melalui peraturan-peraturan tersebut, pesantren dipercaya menjadi penyelenggara pendidikan formal khas pesantren yang fokus pada penyiapan kader ulama, mulai jenjang pendidikan dasar hinggi pendidikan tinggi, dalam bentuk Satuan Pendidikan Mu`adalah (SPM) dan Pendidikan Diniyah Formal (PDF). SPM diselenggarakan dengan jenis salafiyah atau mu’allimin dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah, sedangkan PDF diselenggarakan mulai jenjang pendidikan dasar (Awaliyah & Wustha), menengah (‘Ulya) hingga pendidikan tinggi (Ma`had Aly).
Kini, banyak pondok pesantren sudah mendirikan lembaga pendidikan formal tersebut, baik dalam bentuk SPM, PDF, maupun Ma`had Aly. Data di Kementerian Agama, menunjukkan bahwa SPM yang telah berdiri mencapai 281 lembaga, PDF mencapai 175 lembaga, dan Ma`had Aly mencapai 77 lembaga. Diyakini, melalui lembaga-lembaga ini, kader-kader ulama yang menguasai kitab kuning dan berpikiran modern, akan terus bermunculan. Wallāhu a`lam (58).
Editor: Achmad Firdausi, M.Pd.I.