Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

LAGI LAGI, MASALAH JILBAB

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Jumat, 16 Agustus 2024
  • Dilihat 78 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Ada yang tidak biasa dalam pengukuhan 76 pelajar sebagai Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) oleh Presiden pada 13 Agustus 2024 di IKN, yakni 18 pelajar putri muslimah tidak berjilbab. Padahal saat latihan mereka masih berjilbab. Ternyata mereka melepas jilbabnya saat pengukuhan karena harus mengikuti ketentuan panitia.

Kasus pelepasan jilbab ini mendapat kritikan banyak kalangan, utamanya tokoh agama dan DPR. Adalah Kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Prof. Yudian Wahyudi, Ph.D yang menjadi sasaran kritik. BPIP sebagai pembina  Paskibraka dianggap tidak toleran, tidak mengormati kebebasan beragama yang dijamin UUD, mengabaikan keberagaman demi keseragaman, bertentangan dengan Pancasila, dan mengabaikan semboyan NKRI Bhinneka Tunggal Ika yang meng­gam­bar­kan semangat persatuan dalam keberagaman.

Ketika menjawab kritikan banyak pihak, dengan entengnya Kepala BPIP menjawab bahwa pelepasan jilbab Paskibraka putri hanya di saat pengukuhan dan pengibaran sang Merah Putih, dan sifatnya sukarela tanpa paksaan. Meskipun pada akhirnya, setelah mendapat banyak kritik, Kepala BPIP meminta maaf dan menyilakan Paskibraka putri muslimah berjilbab saat bertugas.

Ternyata aturan tak berjilbab itu ada dasarnya, yakni Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 tahun 2024 yang mengatur pakaian dan atribut Paskibraka. Dalam keputusan ini, ada lima keleng­kapan pakaian dan atribut yang harus dipakai Paskibraka, yakni; 1) setangan leher merah putih; 2) sarung tangan warna putih; 3) kaos kaki warna putih; 4) sepatu pantofel warna hitam; dan 5) kecakapan/kendit berwarna hijau.

Ketentuan di atas berbeda dengan Peraturan BPIP Nomor 3 tahun 2022, yang menyebut enam pakaian dan aktribut Paskibraka, yakni; 1) setangan leher merah putih; 2) sarung tangan warna putih; 3) kaos kaki warna putih; 4) ciput warna hitam [untuk putri berhijab]; 5) sepatu pantofel warna hitam; dan 6) kecakapan/kendit berwarna hijau.

Jadi, Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 tahun 2024 menghilangkan poin 4 dalam peraturan sebelumnya, yakni “ciput warna hitam [untuk putri berhijab]” yang memberi peluang peserta berjilbab. Dengan dihapusnya ketentuan dalam poin 4 tersebut, maka pelepasan jilbab saat pengukuhan bukan kesukarelaan, melainkan keterpaksaan. Sehingga wajar jika ada tuntutan Kepala BPIP dicopot, BPIP dibubarkan.

Jika ditarik ke belakang, kisruh soal jilbab bukan kali ini saja. Pelarangan jilbab di sekolah secara massif pernah terjadi di tahun 1982. Dasarnya adalah Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah No. 052/C/Kep/D/1982. Melalui keputusan ini, siswi yang terbiasa berjilbab harus melepaskan jilbabnya pada saat di se­kolah, dan boleh memakainya kembali setelah pulang dari sekolah. Bagi yang melanggar akan dikenai sanksi, mulai dari teguran sampai dikeluarkan dari sekolah.

Akibat pelarangan tersebut, muncul reaksi keras dan massif dari umat Islam di berbagai wilayah yang menyebabkan retaknya hubungan peme­rintah dan umat Islam dalam waktu lama. Akhirnya, pelarangan jilbab di sekolah ini dicabut melalui Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah No. 100/C/Kep/D/1991.

Pencabutan pelarangan jilbab tersebut selain karena penolakan massif dari umat Islam, juga tidak bisa dipisahkan dengan penge­sahan Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menempatkan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib di setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan (Pasal 39 ayat 2). Dengan status wajib, maka penggunaan atribut keaga­maan seba­gai manifestasi dari pelaksanaan ajaran agama, tidak beralasan jika dilarang.

Perlu dimaklumi bahwa dalam Islam, menutup aurat hukumnya wajib. Hal ini dinyatakan dalam al-Qur’an ayat 59: Yā ayyuhan nabīyyu qul li azwājika wa banātika wa nisā-il mu’minīna yudnīna `alaihinna min jalābībihinna (Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka). Dalam hadits riwayat Abu Dawud, Nabi bersabda kepada Asma’: Ya asmā’ innal mar’ata idzā balaghatil mahīdha lam tashlih an-yurā minhā illā hādzā wa hādzā wa asyāra ilā wajhihī wa kaffay (Wahai Asma’, sesung­guh­nya seorang wanita, apabila telah baligh, tidak layak tampak dari tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjuk muka dan telapak tangannya). Wallāhu a`lam (47).

 


Editor: Achmad Firdausi