Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@uinmadura.ac.id

Hari Santri; Mempertegas Jati Diri Pesantren

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Rabu, 22 Oktober 2025
  • Dilihat 62 Kali
Bagikan ke

Oleh: Dr. Moh. Hafid Effendy, M.Pd.

(Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Madura dan Ketua Yayasan Pakem Maddhu)

Hari Santri yang diperingati setiap tahun bertepatan 22 Oktober memiliki makna strategis dalam perjalanan bangsa Indonesia khususnya bagi kalangan pesantren di pulau Madura. Peringatan ini bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan momentum untuk merefleksikan kembali kontribusi santri dan pesantren terhadap lahirnya serta berkembangnya Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara, telah lama membentuk karakter bangsa melalui penanaman nilai religius, moralitas, dan kemandirian. Oleh sebab itu, Hari Santri menjadi ruang yang tepat untuk mempertegas jati diri pesantren di tengah dinamika zaman.

Pesantren memiliki ciri khas yang tidak dapat dilepaskan dari identitasnya. Keberadaannya tidak hanya berfungsi sebagai lembaga transmisi ilmu-ilmu keislaman, melainkan juga sebagai pusat pembentukan karakter dan moralitas santri. Tradisi pengajian kitab kuning, penghormatan kepada kiai, serta pola hidup sederhana membentuk kultur khas yang membedakan pesantren dari lembaga pendidikan lain. Nilai inilah yang menjadi fondasi kuat bagi pesantren untuk tetap bertahan dan relevan hingga saat ini.

Mempertegas jati diri pesantren berarti mengokohkan peran dan fungsi utamanya dalam tiga perspektif. Pertama, pesantren harus tetap menjadi pusat pendidikan agama yang moderat (wasathiyah). Di tengah keragaman bangsa Indonesia, sikap moderasi beragama menjadi kunci dalam menjaga harmoni sosial. Santri dituntut untuk tidak hanya menguasai ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga mampu menjadi agen perdamaian yang menebarkan nilai toleransi, persaudaraan, dan keadilan.

Kedua, pesantren harus adaptif terhadap perkembangan zaman. Modernisasi pendidikan tidak seharusnya mengikis tradisi pesantren, melainkan justru memperkaya khazanahnya. Integrasi antara ilmu agama, pengetahuan umum, serta keterampilan teknologi dan kewirausahaan merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian, santri tidak hanya siap menjadi ulama dan pemimpin spiritual, tetapi juga mampu bersaing di tengah tantangan global.

Ketiga, pesantren memiliki jati diri sebagai pusat pemberdayaan masyarakat. Sejak dahulu, pesantren berakar kuat di tengah kehidupan rakyat, terutama di pedesaan. Kiprah pesantren dalam bidang sosial, ekonomi, dan budaya menunjukkan keberpihakan nyata kepada masyarakat kecil. Dalam konteks saat ini, pesantren dapat memperkuat perannya melalui gerakan kemandirian ekonomi, pendidikan lingkungan, maupun pengembangan masyarakat berbasis kearifan lokal.

Hari Santri dengan demikian harus dipahami sebagai momentum untuk memperkokoh identitas pesantren yang berakar pada tradisi, sekaligus responsif terhadap tuntutan modernitas. Identitas tersebut tidak berhenti pada simbol keagamaan, tetapi harus diwujudkan dalam kontribusi nyata bagi bangsa. Santri masa kini dituntut untuk memahami bahwa menjaga jati diri pesantren berarti menjaga keutuhan nilai-nilai moral bangsa, memperkuat moderasi beragama, dan mengembangkan peran sosial yang lebih luas.

Dengan mempertegas jati diri pesantren, maka Hari Santri tidak hanya menjadi peringatan sejarah, tetapi juga pijakan untuk menatap masa depan. Pesantren harus terus hadir sebagai pusat peradaban yang inklusif, adaptif, dan solutif. Apabila nilai ini dijaga dan diperkuat, pesantren akan tetap menjadi garda terdepan dalam membangun Indonesia yang berkeadaban, berkeadilan, dan berkemajuan.

 


Editor: Achmad Firdausi