Pemicu Trauma Gamofobia Pada Wanita
- Diposting Oleh Arya Primadi Nugroho
- Jumat, 20 September 2024
- Dilihat 336 Kali
Oleh : MEILANY MAULIDYA (22381072030)
Perjodohan merupakan tradisi yang sudah ada sejak dulu di Indonesia apalagi di Madura. Banyak sekali hubungan yang sudah lama terjalin harus kandas begitu saja hanya karena sebuah perjodohan yang di paksa oleh orang tua. Beberapa dari para anak yang di paksa untuk di jodohkan oleh kedua orang tuanya ada yang dengan senang hati menerima, ada yang dengan terpaksa menerima, dan ada yang malah memilih untuk kawin lari dengan pasanganya sendiri.
Mungkin saat ini sudah banyak masyrakat yang mulai mendukung suatu pernikahan atas dasar cinta, tapi masih banyak juga masyarakat Madura, khususnya daerah-daerah pedalaman yang masih menjadikan perjodohan sebagai solusi utama sebuah pernikahan. Seperti halnya di daerah pedalaman kota Sumenep, disana ada beberapa yang bahkan masih menggunakan tradisi menikahkan seorang anak di usia dini.
Para orang tua yang memaksakan kehendak agar anaknya di jodohkan dengan pilihannya, hanya berfikir bahwa pilihannya adalah yang terbaik bagi anaknya. Mereka tidak membiarkan anaknya menyuarakan apa yang dia rasakan, lantas jika mereka menolak maka mereka seakan-akan sudah melakukan kesalahan yang begitu besar. Apalagi yang menolak adalah seorang anak perempuan, maka akan banyak sekali ungkapan-ungkapan diskriminasi yang malah menjatuhkan anak perempuan mereka, dan ada sebagian yang malah mendoakan anaknya tidak mendapatkan jodoh seumur hidup.
Dan jika anak perempuannya lebih memilih pasangannya sendiri ketimbang jodoh yang di pilih oleh kedua orang tuanya, mereka malah mendoakan agar anaknya tidak bahagia dengan pasangan yang di pilih anaknya sendiri. Bahkan terkadang mereka juga cenderung mendikrimanasi pasangan yang di pilih oleh anaknya sendiri.
Memang ada beberapa perjodohan yang berhasil, tapi banyak juga perjodohan yang malah berakhir tragis. Keharmonisan keluarga yang didamba oleh keduanya harus hancur hanya karna adanya perselisihan ketidak samaan pendapat, tidak saling percaya satu sama lain, atau tidak adanya rasa cinta meski sudah bertahun-tahun bersama. Perjodohan yang berakhir menjadi sebuah kegagalan malah menjadi retaknya sebuah rumah tangga, dan lebih parahnya menjadi dampak buruk bagi anak-anak mereka, terutama bagi anak perempuan.
Seorang anak perempuan yang sejak kecil seringkali melihat kedua orang tuanya bertengkar, adu mulut ataupun sampai melakukan kekerasan di depan matanya, itu akan membuat rusaknya mental seorang anak hingga menyebabkan trauma berkepanjangan atau bahkan bisa saja membuat mereka mendapatkan luka batin dan ketakutan ketika mereka akan memulai sebuah hubungan pada tahap keseriusan yang bisa di katakan sebagai “trauma gamofobia”.
Trauma gamofobia sudah tidak asing lagi di telinga muda-mudi indonesia, khususnya kaum wanita. Trauma gamofobia sendiri merupakan sebuah ketakutan terhadap sebuah pernikahan yang banyak di alami oleh kalangan wanita yang berada dalam ruang lingkup keluarga yang tidak sehat. Gamofobia merupakan sebuah ketakutan yang di tandai oleh rasa takut berlebihan terhadap sebuah hubungan dalam membangunt komitmen, ataupun hubungan pernikahan.
Wanita yang mengidap trauma gamofobia mungkin masih bisa merasakan sebuah hubungan percintaan, tapi saat hubungan itu mulai menginjak pada tahap keseriusan maka kecemasan dan ketakutan akan mulai menyerang mereka. Jadi bukan hanya pasangan suami istri saja yang merasa tertekan, tapi anak-anak merekalah yang menerima dampak terbesar dari ketidak harmonisan hubungan ayah dan ibunya.
Penyebab trauma gamofobia tidak lain karena adanya luka batin yang di pendam sejak kecil. Perempuan-perempuan yang berada dalam ruang lingkup keluarga yang tidak sehat, seperti menyaksikan pertengkaran kedua ayah dan ibunya, atau bahkan sampai terkena dampak kekerasan pelampiasan kemarahan salah satu dari kedua orang tuanya.
Jadi para orang tua yang hendak menjodohkan anaknya, supaya anaknya tidak salah memilih pasangan itu mugkin memang hal baik, tapi tidak ada salahnya mereka mendengarkan ungkapan yang di rasakan oleh anak mereka, karena dalam sebuah hubungan pernikahan mereka berdua lah yang akan menjalaninya, jadi mereka pantas untuk menyuarakan apa yang mereka rasakan. Hal itu untuk meminimalisir anak-anak keturunan mereka supaya tidak mengalami tekanan batin atau trauma yang mendalam yang malah membuat mereka terkunci dalam jeruji trauma.