Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

SYAFAAT NABI MUHAMMAD SAW

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Jumat, 20 September 2024
  • Dilihat 1784 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Menurut al-Jurjani (dalam al-Ta`rīfāt), syafaat adalah permohonan seseorang untuk mendapatkan pengampunan dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Sedangkan menurut Sayid Muhammad Alwy al-Maliky (dalam Mafāhim Yajibu an-Tushahhah), syafaat tak lain adalah doa. Dan setiap doa pasti diperkenankan, ditetapkan, dan diterima terutama bila si pendoa itu para Nabi dan orang-orang saleh, baik di dunia sekarang ini, maupun setelah kematian mereka di alam kubur atau pada hari kiamat nanti.

Jadi, pemilik syafaat adalah Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Kemudian, Allah memilih hamba yang diridhai, untuk mensyafaati hamba-hamba lainnya, guna mendapat ampunan dan rahmat Allah swt.

Terkait syafaat yang diberikan kepada Nabi Muhammad, beliau bersabda “Setiap Nabi memiliki doa [mustajab] yang digunakan untuk berdoa dengannya. Aku ingin  menyimpan doaku tersebut sebagai syafaat bagi umatku di akhirat nanti” (HR. Bukhari). Dan dalam hadits yang lain, Nabi bersabda “Saya diminta memilih antara diberi syafaat  dengan setengah umatku dimasukkan ke surge. Maka saya memilih syafaat, karena sesungguhnya syafaat lebih mencakup dan lebih mencukupi. Apakah ia hanya diberikan kepada orang-orang yang bertakwa saja? Tidak, akan tetapi syafaat itu diberikan juga terhadap orang-orang yang berdosa dan orang-orang yang banyak kesalahan” (HR. Ibn Majah).

Syafaat terbesar (syafā`at `udzmā), yang hanya dimiliki Nabi Muhammad, adalah percepatan pengadilan di hari kiamat. Semua manusia (mulai Nabi Adam) mendapat limpahan syafaat terbesar ini. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, kelak di akhirat seluruh manusia dikumpulkan di padang mahsyar menunggu pengadilan Allah swt. Masa menunggu ini sangat lama, sementara matahari begitu dekat dengan ubun-ubun, sehingga manusia benar-benar dalam puncak penderitaan, kesedihan, dan ketakutan.

Dalam puncak ketakutan tersebut, mereka mencari pertolongan untuk memohon kepada Allah swt agar pengadilan segera dimulai. Tapi tak satupun dari para Nabi yang dimintai tolong, berani memohon; mulai Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, hingga Nabi Isa. Semuanya serba takut akan murka Allah sehingga menolak tak berani memohon.

Hanya Nabi Muhammad yang berani memohon kepada Allah. Kata beliau “Maka saya mendatangi tempat di bawah ‘Arsy, langsung bersujud kepada Tuhanku, kemudian Allah berfirman, ‘Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah maka kamu akan diberi, mintalah syafaat maka kamu akan diberi syafaat.“

Syafaat lainnya, Nabi bersabda “Syafā`atī li ahlil kabā ir min ummatī” (Syafaatku berlaku untuk para pendosa besar dari umatku). Dan banyak lagi syafaat beliau yang dipersiapkan untuk menolong umatnya, agar terhindar dari murka Allah dan mendapat rahmat-Nya.

Dan syafaat beliau tidak terbatas di akhirat. Di dunia pun, meskipun Nabi sudah wafat, pertolongan beliau tetap berlanjut untuk umatnya. Dalam sebuah hadits riwayat al-Bazzar, Nabi bersabda: “Hidupku lebih baik buat kalian [Hayātī khairun lakum], kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Dan matiku lebih baik buat kalian [wa wafātī khairun lakum]. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan, aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.”

Perhatian Nabi terhadap nasib umatnya tidak bisa dilepaskan dari pribadi beliau yang rahmat, yakni pribadi yang lemah lem­bu­t dan kasih sayang. Hal ini dinyatakan sendiri oleh beliau dalam riwayat Imam Bukhari “Innamā ana rahmatun muhdātun” (Sesung­guhnya saya adalah rahmat yang dihadiahkan), dan dalam riwayat Imam Muslim “Innī lam ub`ats la`ānan wa innamā bu`itstu rahmatan” (Sesungguhnya saya tidak diutus untuk melaknat, akan tetapi saya diutus sebagai rahmat). Dan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, Nabi diutus, sesuai firman Allah “Wa mā arsalnāka illā rahmatan lil `ālamīn”.

Karena pribadi yang rahmat, Nabi menolak ketika Malaikat Jibril menawarkan untuk menimpakan bukit ke penduduk Thaif yang telah menolak dengan kasar kedatangan Nabi dan sahabatnya saat hijrah dari kekejaman kafir Mekah. Justru Nabi berdoa “Allāhuma ihdi qaumī fa innahum lā ya`lamūn” (Ya Allah, berilah petunjuk pada kaumku, sesungguhnya mereka [menolakku] karena tidak tahu).

Karena pribadi yang rahmat, Nabi menangis dan berkata “Ya Allah, [bagaimana nasib] umatku”, saat membaca Surah al-Maidah ayat 118 “In tu`addzibhum fa innahum `ibāduk, wa in taghfirlahum fa innaka antal `azīzul hakīm (Jika Engkau menyiksa mereka [yang ingkar] maka sesungguhnya mereka adalah hamba-Mu, dan jika Engkau ampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Mahaagung dan Mahabijaksana). Tangis beliau lama sekali, sampai akhirnya Allah mengutus Malaikat Jibril untuk menemui Nabi. Dan beliau baru berhenti menangis, setelah mendapat kabar dari Jibril bahwa Allah telah menjawab kekhawatirannya dengan berfirman “Innā sa nurdhīka fī ummatika wa lā nasū uka”; Sungguh Kami akan membuatmu ridha terhadap umatmu, dan tidak akan membuatmu bersedih (dalam Mukhtashar Tafsir ibn Katsir).

Sungguh sangat beruntung menjadi umat Muhammad yang rahmat, yang melaksanakan ajaran-ajarannya, serta meniru pribadi beliau yang rahmat, yang lemah lembut dan kasih sayang terhadap makhluk Allah.

Allāhumma shalli wa sallim `alā sayyidinā Muhammad wa`alā ālihī wa shahbihī wā azwājihī wa ahli baitihī wa dzurriyatihī wa ummatihī ajma`īn (52).

 


Editor: Achmad Firdausi