Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 898-9700-500

Email

info@iainmadura.ac.id

ANTARA SEKOLAH DAN MADRASAH

  • Diposting Oleh Achmad Firdausi
  • Jumat, 4 Oktober 2024
  • Dilihat 387 Kali
Bagikan ke

Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.

Sekolah dan madrasah merupakan dua lembaga pendidikan yang memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya, keduanya sama-sama sebagai lembaga pendidikan formal tingkat dasar dan menengah, yakni SD, SMP dan SMA/SMK untuk sekolah. Sedangkan  untuk madrasah meliputi MI, MTs dan MA/MAK. Juga, keduanya sama-sama berperan untuk menuntaskan program wajib belajar dan mencerdaaskan anak bangsa.

Perbedaannya, pertama; sekolah dikelola Kemdikbudristek (untuk kebijakan-kebijakan yang bersifat nasional), sedangkan secara operasional dikelola oleh Pemerintah Provinsi (untuk SMA/MAK) dan Pemerintah Kabupaten/Kota (untuk SD-SMP). Dengan demikian, manajemen sekolah dikelola secara vertikal dan horizontal. Hal ini berbeda dengan madrasah yang hanya dikelola oleh Kementerian Agama, yang secara operasional dikoordinasi oleh Kementeran Agama Wilayah dan Kabupaten/Kota, sehingga manajemen madrasah bersifat vertikal.

Kedua, secara historis sekolah lebih awal berdiri di negeri ini. Pemerintah Hindia Belanda lah yang memperkenalkan sistem sekolah modern ketika menjajah Nusantara. Meskipun penjajah ini telah mendirikan sekolah sejak abad ke-16 di sejumlah kawasan Nusantara, baru tahun 1870 anak-anak pribumi diberi kesempatan belajar di sekolah-sekolah yang mereka dirikan. Namun, sistem sekolah yang didirikan Hindia Belanda ini bersifat sekuler, yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu umum, sehingga para tokoh muslim berinisiatif menyaingi sekolah dengan mendirikan madrasah modern yang kurikulumnya memadukan pelajaran umum dan agama. Tercatat sebagai madrasah yang didirikan pertama kali, adalah Madrasah Mambaul Ulum di Solo, tahun 1905.

Ketiga, dari segi kurikulum, muatan kurikulum madrasah lebih padat daripada kurikulum sekolah. Hal ini terutama sejak pemberlakuan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Melalui UU ini, madrasah ditetapkan sebagai “sekolah berciri khas agama Islam.” Konsekuensinya, kurikulum madrasah harus sama dengan kurikulum sekolah dalam setiap jenjangnya. Di sisi lain, madrasah juga memiliki misi untuk mengajarkan agama Islam dalam kurikulumnya. Maka, untuk mewujudkan “madrasah  plus”, kurikulum madrasah didesain dengan memadukan kurikulum sekolah dan kurikulum madrasah. Konsekuensinya, siswa madrasah mendapat beban belajar lebih banyak dan berat dibanding siswa sekolah. Tapi, nilai plusnya, belajar di madrasah mendapat dua ilmu sekaligus; ilmu umum sebagaimana diajarkan di sekolah, dan ilmu agama.

Keempat, dari segi status, sekolah negeri jauh lebih banyak dari madrasah negeri. 

Sebagai bahan perbandingan, berdasar data tahun 2024, jumlah MI se Indonesia berjumlah 26.788 (1.711 negeri & 25.077 swasta), jumlah MTs sebanyak 19.431 (1.525 negeri  & 17.906 swasta), dan jumlah MA sebanyak 10.137 (810 negeri & 39.305 swasta). Sedangkan jumlah SD mencapai 149.450 (129.484 negeri & 19.966 swasta), jumlah SMP sebanyak 43.413 (24.137 negeri & 19.276 swasta), SMA berjumlah 14.770 (7.128 negeri & 7.642 swasta), dan jumlah SMK sebanyak 14.463 (3.777 negeri & 10.686 swasta).

Banyaknya sekolah negeri berawal dari rencana pendirian sekolah yang merupakan inisiatif pemerintah (top down), untuk memberantas buta huruf dan mencerdaskan anak bangsa.  Maka, berdirilah sekolah-sekolah negeri sampai ke pelosok-pelosok daerah. Sedangkan pendirian madrasah bersifat bottom up, atas inisiatif masyarakat muslim, agar anak-anak muslim dapat belajar ilmu-ilmu umum plus ilmu agama. Namun, dalam perkembangannya, mengingat perannya yang penting untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah secara bertahap menegerikan sejumlah madrasah swasta, mulai tahun 1959 hingga kini.

Kelima, dari sisi anggaran, sekolah jauh lebih banyak mendapat perhatian pemerintah, dibanding madrasah. Anggaran sekolah, di samping dari pusat (Kemdikbudristek), juga dari Pemerintah Daerah setempat. Sedangkan anggaran madrasah hanya dari satu sumber, pemerintah pusat (Kementerian Agama), yang jumlahnya terbatas.

Bukankah madrasah berada di daerah? Mengapa tidak mendapat anggaran dari Pemda setempat? Manajemen madrasah bersifat vertikal, sehingga menjadi tanggungjawab kementerian yang menaunginya, yakni Kementerian Agama. Pemda bisa saja menyiapkan anggaran untuk madrasah, tapi sifatnya hibah, yang sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan pemda setempat.

Ternyata, sisi perbedaan sekolah dan madrasah, lebih banyak dibanding sisi persamaanya. Terutama dari aspek keberpihakan pemerintah dalam menyiapkan anggaran, yang lebih berpihak ke sekolah. Padahal anggaran yang memadai akan memudahkan lembaga untuk memenuhi kebutuhan guru berkualitas dan sarana-prasarana yang memadai. Dan ini, akan berpengaruh pada kualitas proses pembelajaran dan mutu lulusan.

Karena  itu, mengingat peran madrasah yang juga besar dalam ikut menuntaskan program wajib belajar dan mencerdaskan anak bangsa, maka pemerintah harus lebih banyak lagi memberikan perhatian ke madrasah, terutama penyediaan anggaran yang memadai sebagaimana diberikan ke sekolah. Wallāhu a`lam  (53).

 


Editor: Achmad Firdausi